Hari-hari ini masyarakat dibuat mengenyitkan dahi karena ada yang tidak nyambung antara data pemerintah dan fakta yang terjadi. Yang paling gres adalah keputusan impor beras sebanyak 1,5 juta ton. Kementerian Pertanian menyatakan optimismenya satu tahun masa bakti Kabinet Kerja tidak ada impor beras. Lalu Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan angka ramalan kedua yang menyatakan produksi padi 2015 naik 4,15 juta ton atau 5,85%. Hanya dalam hitungan hari, ternyata beras impor mulai berdatangan ke pelabuhan.
Contoh lain menyangkut kecukupan jagung untuk pakan ternak. Lagi-lagi Kementerian Pertanian menyatakan stok jagung cukup, tidak perlu impor. Namun para pelaku usaha pakan ternak dan peternak ayam petelur berkeluh-kesah sejak Oktober lalu lantaran kesulitan mendapatkan pasokan bahan pakan utama untuk unggas tersebut. Tidak hanya sulit pasokannya, harganya pun mencekik leher bagi peternak. Di sisi lain, harga yang sangat kuat tidak sepenuhnya membahagiakan petani jagung karena sebagian besar margin dinikmati pedagang, bukan target yang ingin disasar pemerintah.
Akibat langka pasok jagung, pabrik pakan mulai menggunakan alternatif gandum sebagai sumber energi. Saat itu harganya memang lebih masuk hitungan produksi pakan, tetapi bahan baku ini juga komoditas impor. Sementara kalangan peternak yang masih sanggup membeli jagung sampai Rp5.000 per kg juga mencoba mengurangi kebutuhannya dengan mencampur gandum seperti pabrik pakan. Yang tidak sanggup terpaksa mengambil jalan pintas dengan mengafkir ayam-ayam produktif (mengurangi populasi) mereka lebih dini agar kebutuhan jagungnya lebih sedikit.
Praktis, populasi ayam petelur akan berkurang dan produksi telur pun turun. Ini bisa berimbas naiknya harga telur. Bagi peternak yang tengah mengharapkan kenaikan harga, bisa jadi cukup membuat mereka tersenyum. Namun bagi konsumen tentu memberatkan mereka dalam memenuhi kecukupan pangan protein hewani. Padahal konsumsi per kapita pangan protein kebanyakan masyarakat Indonesia masih terbilang rendah di antara anggota ASEAN.
Kita tentu sangat mendukung upaya sangat keras yang dilakukan pemerintah dan jajarannya untuk memacu produksi pangan. Kita juga ingin negara ini terlepas dari ketergantungan terhadap impor untuk komoditas-komoditas yang memang potensial diproduksi di dalam negeri, seperti padi dan jagung.
Namun, agar upaya keras tersebut tidak berujung tanggapan negatif dari para pemangku kepentingan, kita berharap pemerintah dengan legowo mau mencari tahu akar masalah ketidaksinkronan data. Dan selanjutnya melakukan penyelesaian masalah tersebut. Dengan basis data yang akurat, niscaya langkah ke depan dalam menyusun target-target dan pencapaiannya pun akan lebih presisi.
Ketidaksinkronan kebijakan dan program juga terkuak dalam acara simposium pangan yang menampilkan agenda riset dari tiga kementerian: kesehatan, pertanian, dan kesehatan baru-baru ini. Kementerian Kesehatan tengah gencar mempromosikan pengurangan konsumsi GGL: Gula, Garam, Lemak. Sementara Kementerian Pertanian menggencarkan pangan yang memproduksi ketiga unsur tersebut dengan bujet yang besar. Demikian pula Kementerian Kelautan dan Perikanan menggenjot produksi ikan dan garam. Riset ketiga kementerian tersebut juga tidak nyambung dengan kebutuhan para pelaku industri.
Alangkah bagusnya bila koordinasi di antara lembaga-lembaga pemerintah lebih terjalin. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tentu akan menjadi sinergis satu sama lain. Anggaran yang dibelanjakan lebih efisien. Demikian pula soal riset. Bagi periset, cakupan masalah yang diteliti bisa lebih banyak dan komprehensif karena alokasi dana rsiet lebih efisien dengan adanya komunikasi di antara lembaga riset. Hasil riset juga lebih memberikan manfaat bagi perusahaan untuk dikembangkan sebagai bisnis. Dan akhirnya riset memberikan manfaat bagi kemaslahatan masyarakat umum dan negara tercinta ini.
Peni Sari Palupi