Ujian Peran Baru Bulog
Semangat swasembada pangan memantik pemerintah, dalam hal ini Mentan Andi Amran Sulaiman, menghentikan impor jagung. Wajar saja Mentan mengambil kebijakan itu karena selama ini melihat data produksi jagung di dalam negeri cukup melimpah.
Apalagi mendapat laporan harga jagung di tingkat petani acapkali rendah sehingga tidak menguntungkan bagi mereka. Padahal janji swasembada pangan yang dikebut dengan Program Upaya Khusus Padi Jagung Kedelai (Pajale) di antaranya meningkatkan kesejahteraan petani.
Kebijakan yang efektif sejak Juli 2015 ini cukup menohok industri pengguna jagung impor, di antaranya industri pakan ternak, karena diterbitkan cukup mendadak. Industri yang memasok pakan untuk para peternak ini memang termasuk pengguna jagung paling jelas volume kebutuhan dan standar kualitasnya. Sementara pengguna lain masih sulit dicari kepastian kebutuhannya.
Ada problema klasik yang menjadikan industri ini selalu mengimpor jagung dalam 10 tahun terakhir. Pola permintaan industri terhadap jagung yang relatif merata tiap bulan sepanjang tahun tidak sinkron dengan pola produksi petani yang berfluktuasi tergantung musim. Sampai saat ini jembatan yang efektif dan efisien di antara keduanya belum ada. Kalaupun beberapa kali diupayakan belum memberikan hasil positif.
Beberapa industri besar sudah mencoba melakukan kemitraan dengan petani tetapi tidak berjalan secara berkelanjutan karena ada banyak kendala. Akhirnya mereka mengandalkan pedagang besar dan impor untuk memastikan kontinuitas suplai bahan baku utama itu.
Soal kontinuitas suplai menjadi urusan penting bagi industri pakan karena mereka juga harus memasok pakan ke peternak secara berkelanjutan. Dalam praktik sehari-hari, mereka menyimpan stok bahan baku untuk kebutuhan satu setengah hingga dua bulan ke depan.
Selama ini industri menggunakan jagung impor saat kontinuitas suplai jagung lokal tidak bisa diandalkan. Tersedia menurut makna industri paling tidak menyangkut volume, harga, kualitas, dan terjangkau akses. Pelaku industri menampik dikatakan lebih suka impor. Buktinya, volume impor jagung 10 tahun terakhir naik turun, dari hanya 170 ribu ton pada 2008 hingga 3 juta ton lebih pada 2014.
Masalah fluktuasi suplai jagung lokal sampai hari ini belum bisa terselesaikan. Saat suplai melimpah ketika panen raya, kapasitas industri hanya mampu menampung sampai kebutuhan dua bulan ke depan. Sementara hasil panen raya bisa memenuhi kebutuhan tiga sampai empat bulan. Inilah yang tak tertampung sehingga harga anjlok di kalangan petani karena ketiadaan fasilitas pascapanen.
Padahal jagung untuk pakan ternak harus segera dikeringkan agar tak tercemar cendawan. Bila sampai tercemar, maka akan mengandung racun sehingga tidak layak untuk pakan ternak dan tak bisa diserap industri pakan.
Saat panen sangat kecil seperti tiga bulan tiap akhir tahun, industri terpaksa impor jauh-jauh hari, paling tidak tiga bulan sebelumnya agar sampai tepat waktu. Kalau sampai stok mepet, mereka harus beli jagung dengan harga mahal yang bisa bikin beban peternak.
Mentan pun minta Bulog melaksanakan tugas baru untuk stabilisasi jagung. Bulog diharapkan berada di tengah-tengah antara petani jagung dan industri pakan. Memastikan jagung lokal diserap industri dengan harga pantas dan mengendalikan impor di kalangan industri pakan agar tak sampai bikin jagung lokal tak terbeli.
Kita sepakat dengan pelaku industri pakan, siapapun elemen pemerintah, termasuk Bulog, yang mau menyelesaikan masalah tersebut harus mengembangkan fasilitas pascapanen dan mendekatkan kepada sentra produsen pakan. Bulog dengan fasilitas yang sesuai harus mampu menyimpan jagung untuk satu bulan ke depan. Artinya, saat panen menyerap sebanyak-banyaknya bersama industri pakan. Ketika pasokan berkurang, Bulog melepas stoknya ke industri dengan harga layak.
Tugas baru Bulog ini akan teruji dalam bulan-bulan akhir 2015. Bila mampu menjamin ketersediaan jagung tanpa telat saat masa paceklik ini, mungkin Bulog akan menuai kepercayaan. Jadi, petani lokal senang, industri pakan dan peternak pun tenang.
Peni Sari Palupi