Kamis, 22 Oktober 2015

Yuk, Berhitung yang Valid

Jelang Ramadan hingga Lebaran biasanya menjadi hari-hari yang dinanti para produsen komoditas pangan seperti daging dan bumbu karena harga cenderung menguat seiring kenaikan permintaan masyarakat. Usai Lebaran harga-harga komoditas tersebut akan kembali ramah di kantong pembeli.

Namun pascalebaran tahun ini, harga daging sapi tetap nangkring di angka Rp100 ribu – Rp130 ribu sekilo, bahkan ada yang membandrol Rp150 ribu. Tak pelak, konsumen enggan membelinya sehingga para pedagang daging di sejumlah pasar di Jabodetabek dan Bandung sempat mogok berjualan sampai tiga hari. Keruan saja mereka mogok karena dagangannya tidak akan laku lantaran terlalu mahal.

Asosiasi Pengusaha Rumah Potong Hewan Indonesia (APPHI) meminta pemerintah menghitung kembali stok sapi di dalam negeri. Dan untuk jangka pendek supaya gejolak harga mereda, mereka minta pemerintah mengimpor sapi siap potong. Pemerintah pun lantas memberi izin Bulog mengimpor sapi siap potong sebanyak 50 ribu ekor.

Harga daging sapi yang ogah turun sebenarnya bukan hanya kali ini saja terjadi. Paling tidak tiga kali kasus semacam ini merebak, pada 2009, 2012, lalu 2015. Pada 2012 sebagai contoh, jauh-jauh hari pengusaha penggemukan sapi yang tergabung dalam Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) memperingatkan pemerintah bahwa stok bakalan tidak mencukupi. Namun pemerintah waktu itu percaya diri, stok sapi lokal mencukupi sehingga memotong kuota impor sapi bakalan secara drastis. Ibarat kendaraan yang direm secara mendadak, lajunya menjadi tidak stabil.

Kasus yang bulan lalu terjadi mirip dengan kondisi tersebut. Dari angka kebutuhan anggota Apfindo sebanyak 260 ribu ekor bakalan untuk kuartal tiga, pemerintah (Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan) hanya mengeluarkan izin 50 ribu ekor.

Berantakanlah perencanaan produksi kalangan pengusaha penggemukan sapi. Mereka terpaksa menghitung ulang pasokan sapi ke pasar. Terpaksa pula mereka menginjak rem dengan mengurangi jumlah sapi yang dikirim ke rumah potong agar kesinambungan bisnis mereka terjaga.

Namun langkah mereka dipandang sebagai aksi penimbunan. Padahal kalau kandang penggemukan sampai kosong, mereka bisa saja terpaksa memberhentikan karyawan atau paling tidak merumahkan sementara. Salah satu perusahaan mengaku, pada kuartal ketiga ini hanya memperoleh kuota seperlima dari kebutuhannya. Jadi, kalau pihaknya tak mengerem pasokan ke rumah potong, jumlah itu hanya cukup sampai Oktober.

Di kawasan Jabodetabek, Banten, dan Jawa Barat yang amat mengandalkan pasokan daging dari sapi impor dan daging impor, pengaruhnya amat nyata. Lagi-lagi para penggemuk sapi yang dijadikan kambing hitam. Padahal dalam perencanaan produksi daging sapi nasional, porsi mereka hanya dihitung tak sampai 20%.

Data pemerintah sudah cukup jelas. Dari populasi yang 12 jutaan ekor, sebagian besar (90%) di tangan peternak rakyat. Kita semua mengetahui, dengan jumlah kepemilikan yang kecil, rata-rata 2-3 ekor per peternak, sapi hanyalah bersifat sebagai tabungan. Ini artinya sulit mengetahui dengan pasti berapa jumlah sapi di tangan peternak yang akan dilepas ke pasar menjadi sumber pasokan daging.

Sejatinya kalau hitungan populasi sapi nasional valid sehingga hitungan porsinya terhadap kebutuhan nasional benar, tak akan terjadi gejolak yang sama berkali-kali. Tak hanya valid jumlahnya, tapi juga terinci jenis kelamin dan umurnya.

Untuk memantau pergerakan sapi, para pelaku bisnis sapi dan akademisi telah lama mengusulkan sistem Radio-Frequecy Identification (RFID). Semua sapi dipasangi ear tag (tindik kuping) sebagai identitas yang bisa dihubungkan dengan komputer berisi data detail si sapi. Dengan sistem ini, sapi bisa diketahui populasinya secara pasti tanpa kuatir ada penghitungan ganda dan pergerakannya pun terpantau.

Jadi, tak ada keraguan lagi berapa pasokan lokal dan berapa yang perlu diimpor bila memang kita masih membutuhkan. Dalam waktu yang bersamaan, pemerintah perlu menyusun program peningkatan populasi dan melaksanakannya secara berkelanjutan hingga kita benar-benar swasembada, bukan swasembada yang menurunkan konsumsi.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain