Senin, 5 Oktober 2015

Menjinakkan Harga Pangan

Jelang Ramadan dan Lebaran selalu saja pemerintah disibukkan dengan upaya untuk mengendalikan harga pangan yang umumnya memang melambung karena permintaan menguat. Tahun ini pun tak luput dari hiruk-pikuk itu.

Presiden Jokowi pun sampai mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting yang ditandatangani 15 Juni 2015. Namun stabilisasi harga memang tampaknya tak gampang.

Kita melihat Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang rajin sidak ke pasar-pasar memantau harga komoditas pertanian, seperti beras, cabai, bawang merah, daging, juga telur. Melihat harga bawang merah yang melambung sampai Rp30 ribu – Rp40 ribu/kg di Jakarta, Mentan blusukan ke Bima, sentra bawang merah di Nusa Tenggara Barat. Di sana temuan Mentan harga hanya Rp7.000 – Rp8.000/kg di tingkat pedagang sehingga ia memborong untuk dibawa ke Jakarta, Bandung, dan Surabaya (20/6).

Kali lain Menteri Perdagangan Rachmat Gobel juga mengecek harga-harga sembako di pasar. Termasuk harga daging sapi yang mencapai Rp100 ribu – Rp120 ribu/kg. Menteri ini juga blusukan ke sebuah perusahaan penggemuk sapi di bilangan Tangerang, Banten. Berdasarkan hasil kunjungan ke berapa daerah, Kemendag bersama Bulog melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga. Hasilnya, penurunan harga belum sesuai target mereka. Kali ini Bulog tak hanya mengurusi operasi pasar beras, tapi juga bawang merah.

Bahkan ke depan Mentan minta Bulog membeli tujuh komoditas pertanian, yaitu beras, jagung, kedelai, bawang merah, cabai, gula, dan daging langsung dari petani. Tujuannya untuk memotong rantai pasok sehingga petani maupun konsumen diuntungkan karena menutup ruang gerak para spekulan.

Kita mengapresiasi upaya pemerintah akan memperluas fungsi Bulog ke depan untuk stabilisasi harga komoditas di luar beras. Namun sebaiknyalah Bulog juga mengambil pelajaran kasus melambungnya harga beras akhir 2014 hingga awal Maret 2015. Beberapa hal menjadi penyebab melambungnya harga waktu itu. Produksi beras yang memang lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya. Tidak adanya penyaluran raskin sehingga masyarakat yang biasanya tak perlu beli beras menjadi membeli beras. Musim tanam yang terlambat karena memang musim penghujannya mundur, jadi panen pun terlambat. 

Soal jagung, tak hanya produksi yang digenjot tapi juga fasilitas pascapanennya mesti diadakan. Penyimpanan jagung memerlukan pengering agar kualitasnya sesuai standar industri pakan. Pengering ini juga sebaiknya disiapkan dekat dengan sentra produksi agar harga jagung petani tidak timpang terlalu jauh dengan harga beli industri pengguna.

Penanganan jagung lebih rumit ketimbang padi karena komoditas ini menjadi bahan baku pangan, pakan ternak, dan bahan bakar (etanol). Belum memproduksi bahan bakar saja kita masih mengimpor tiga juta ton tahun lalu untuk bahan baku pakan. Bila harga jagung pakan terlalu tinggi, peternakan ayam terkena imbasnya. Biaya produksinya jadi tinggi sehingga konsumen sulit menjangkau sumber protein hewani ini. Daya saingnya juga rendah di pasar.

Baiklah para menteri baru terkait pangan mempelajari rumitnya upaya stabilisasi harga pangan tahun ini. Harapan kita mereka bisa mempersiapkan langkah jauh-jauh hari yang bukan bersifat reaktif sehingga hanya melahirkan panic policy. Seyogyanya mereka duduk bersama pelaku usaha untuk berhitung permintaan dan suplai yang tepat. Lalu melihat kemampuan produksi para pelaku, termasuk di dalamnya struktur biaya untuk berproduksi. Ada pemetaan, faktor apa saja yang bisa diusahakan perbaikannya oleh pelaku usaha dan faktor apa saja yang menjadi domain pemerintah untuk mengatasinya.

Dari pertemuan tersebut, diharapkan lahir solusi yang komprehensif melibatkan semua pihak. Tentu tak hanya kementerian pertanian yang berurusan dengan produksi tetapi juga melibatkan kementerian yang mengurusi infrastruktur, perdagangan, perindustrian, dan sebagainya.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain