Senin, 3 Agustus 2015

Iklim yang Kondusif

Perekonomian Indonesia sejak tahun lalu melambat, hanya 5,1%, lebih lambat ketimbang sebelumnya yang mencapai 5,2%. Pun tahun ini diperkirakan tak sekencang perkiraan Bank Dunia pertengahan Juli 2014 yang memasang angka 5,6%. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang triwulan pertama 2015, perekonomian kita hanya tumbuh 4,71%, melambat dibandingkan periode sama 2014 yang tercatat 5,14%.

Hasil identifikasi masalah di lapangan adalah irigasi, pupuk, benih, alat mesin pertanian, dan penyuluhan. Misalnya saja jaringan irigasi yang sudah dipetakan sebanyak 52% dalam keadaan rusak. Pupuk bersubsidi masih telat sampai di tangan petani saat musim tanam tiba. Demikian pula benih bersubsidi juga tak tepat waktu dan tidak sesuai dengan kebutuhan petani sehingga sesampai di tangan mereka malah digiling untuk konsumsi.

Tak pelak omzet pelaku usaha pun, termasuk yang bergerak di bidang agribisnis, menurun. Dalam situasi sulit ini, pemerintah bisa membantu pelaku bisnis dengan menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui berbagai kebijakan. Tujuannya agar mereka tetap bertahan tanpa melepas karyawan atau bahkan bisa tumbuh sehingga memutar roda perekonomian masyarakat setempat.

Sebuah grup perusahaan agribisnis buah segar di Lampung misalnya, menyerap tenaga harian lepas sebanyak 4.000 orang sehari. Dengan upah sebesar Rp63 ribu/orang/hari, maka dalam seminggu saja terjadi perputaran Rp1,7 miliar lebih. Belum lagi anak perusahaan lain yang bergerak di kebun nenas dan pengalengannya menyerap paling tidak 12 ribu orang sehari. Juga anak usaha yang bergerak di industri sapi potong memberi lapangan kerja 400-an karyawan.

Terbayang kalau sampai perusahaan tersebut terhambat perkembangannya, ekonomi rumah tangga ribuan orang juga akan terganggu. Itu hanya satu contoh. Masih banyak perusahaan agribisnis di Tanah Air yang memberi lapangan kerja banyak orang di pedesaan seperti industri perunggasan. Mulai dari petani dan pedagang pemasok bahan baku pakan.

Lalu berlanjut ke peternakan unggasnya. Di lokasi yang jauh-jauh dari pemukiman, mereka menyerap tenaga untuk mengurus kandang, menyediakan pasar bagi pemasok perlengkapan kandang, memanen unggas dan mentransportasikannya ke rumah potong atau ke agen dalam keadaan hidup.

Ketika industri unggas dalam kondisi sulit itu, pemerintah seharusnya tak lagi membiarkannya tumbuh sendiri seperti selama ini terjadi. Pemerintah perlu mencari tahu kendalanya untuk memberikan solusi yang tepat.

Sebut saja masalah banjir bibit unggas, tentu para pelaku usaha tak bisa bersepakat memotong produksi tanpa dituduh sebagai kartel. Instansi terkait perlu memberikan payung hukum untuk melakukannya.

Banjir bibit bisa dicegah dengan memperhitungkan dengan cermat pemasukan bibit unggas. Namun ini harus dilakukan secara hati-hati berdasarkan data yang akurat. Salah ambil langkah, pasokan bibit seret atau sebaliknya berlebih. Dampaknya sama-sama tak baik.

Masalah ketersediaan jagung, bahan baku pakan utama pakan ternak. Sudah lebih sepuluh tahun tak kunjung terselesaikan meski berkali-kali pelaku industri pakan dilibatkan dalam berbagai pertemuan dengan kementerian terkait. Bukan bermaksud mengharamkan impor, tetapi jumlahnya yang sampai 3 jutaan ton terlalu banyak untuk tidak diatasi. Perlu solusi yang holistik melibatkan semua pihak sehingga tercipta suasana bisnis saling menguntungkan.

Belum lagi permasalahan kesenjangan harga di tingkat peternak hingga ke konsumen yang terlalu jauh karena rantai pasar panjang sekali. Ini masalah klasik yang nyaris tak ada ujungnya.

Tak berhenti sampai di situ, masalah lainnya adalah konsumen yang masih saja menyukai karkas hangat ketimbang karkas beku. Ini perlu sosialisasi yang lebih massal dan lebih baik kepada ibu-ibu rumah tangga tentang kebaikan produk unggas beku.

Masih terkait peternakan, misalnya sapi potong. Indonesia memang masih membutuhkan indukan yang banyak untuk mengembangkan populasi. Jarang pelaku usaha yang mau melakukan pembibitan lantaran butuh “napas panjang” alias modal yang besar.

Tanpa insentif yang memadai seperti pembebasan bea masuk sapi indukan, kemudahan importasi, dan kredit perbankan berbunga lunak, pengusaha ogah menekuninya. Pemerintah perlu memberi fasilitasi kepada pengusaha yang terbukti sudah berusaha masuk ke pembibitan. Bila ini lancar, populasi pun lambat laun akan berkembang.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain