Pengusaha membutuhkan kepastian terkait kebijakan pemerintah untuk merencanakan bisnisnya supaya bisa berjalan lancar sesuai target yang dicanangkan. Ketidakpastian menyulitkan mereka melangkah dan menimbulkan peluang berspekulasi.
Dalam diskusi publik tentang perberasan di kantor Bulog terungkap, salah satu pemicu terjadinya kenaikan harga beras yang luar biasa karena pemerintah mengambangkan keputusan penyaluran beras untuk masyarakat miskin (raskin) pada Januari 2015 sampai baru diketok tanggal 28. Akibatnya, kenaikan harga yang terjadi lantaran tidak adanya penyaluran raskin selama dua bulan November – Desember bertambah parah. Sebagian orang melihat ini sebagai peluang untuk berspekulasi menahan beras. Apalagi orang tidak yakin dengan jumlah stok beras pemerintah sehingga orang cenderung menyimpan beras menunggu harga menguat. Jumlah beras untuk operasi pasar guna menjinakkan harga pun kurang “nendang” sehingga efeknya kurang kuat.
Tak hanya di perberasan, buah ketidakpastian juga tengah dialami para pelaku bisnis penggemukan sapi potong. Sudahlah bakalan sapi lokal semakin sedikit yang masuk ke pasar, bakalan sapi impor pun telat memenuhi kandang-kandang peternak. Keterbatasan pasokan sapi bakalan lokal memaksa peternak ikut bergantung kepada sapi impor. Untuk kuartal kedua, izin impor berlaku 1 April – 30 Juni. Perusahaan anggota Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) yang sudah mengajukan izin ke Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan berharap, awal Maret izin sudah diteken. Nyatanya sudah terlambat sampai dua minggu. Padahal mereka dan juga para peternak sedianya menyiapkan sapi itu untuk keperluan Ramadan dan Lebaran yang akan datang. Mereka sudah berhitung, bila awal Maret izin sudah diteken, importir punya waktu cukup, tidak terburu-buru untuk bernegosiasi dengan para eksportir di Australia sekaligus juga menyiapkan kapal pengangkutnya. Diharapkan awal April sapi-sapi yang bakal digemukkan itu sudah merapat ke kandang mereka.
Setelah mengalami proses penggemukan selama 90 – 100 hari, sapi bisa dilepas ke pasar pada awal Juli atau dua minggu menjelang Lebaran. Nah, karena telat, rencana para feedlotter berantakan. Harga daging sekarang saja sudah mencapai keseimbangan baru sekitar Rp95 ribu/kg, apalagi nanti saat seminggu jelang Ramadan (munggah) dan seminggu jelang Lebaran. Memang, peternak dan perusahaan penggemukan berharap omzet lebih dan harga lebih pada momen tersebut memanfaatkan daya beli masyarakat yang meningkat. Para pelaku memprediksi harga daging sapi akan bermain di kisaran Rp110 ribu – Rp120 ribu/kg.
Kalau sampai terjadi lagi kasus daging sapi super mahal, pedagang daging bisa-bisa mogok berjualan karena ibu-ibu rumah tangga tak mampu membelinya. Tentu ramalan itu belum tentu menjadi nyata karena bisa saja tiba-tiba pemerintah, dengan alasan menekan inflasi, membanjiri pasar dengan daging beku impor. Pundi-pundi peternak pun tak jadi terisi penuh. Padahal pemerintah semestinya bisa belajar dari kasus dua tahun lalu. Karena yakin dengan data pasokan daging dari sapi lokal, pemerintah menginjak rem pasokan sapi dan daging impor secara drastis. Akibatnya harga daging melambung sampai Rp120 ribuan per kg. Pemerintah buru-buru membuka keran impor lagi. Dan impor yang paling cepat hasilnya adalah impor daging yang berarti tidak memberikan nilai tambah apa pun di dalam negeri. Tak hanya impor daging, waktu itu impor sapi siap potong pun dibuka bikin pihak karantina ketar-ketir akan penyakit yang mungkin terbawa.
Lagi-lagi ketidakpastian iklim berusaha juga menghampiri investor asing di bisnis benih hortikultura. Kalau biasanya kepemilikan asing mendapat porsi maksimal 49%, dalam bisnis benih hortikultura dipatok paling banyak 30%. Tentu investor asing yang telanjur lama berbisnis di sini sangat kecewa dengan regulasi termaktub dalam Pasal 100 Undang-undang 13/2010 tentang Hortikultura. Apalagi permohonan uji materi di Mahkamah Konstitusi juga ditolak pada 19 Maret lalu. Di sisi lain, hal tersebut memberikan peluang pelaku bisnis perbenihan dalam negeri untuk berkembang dan mengisi kebutuhan lokal.
Contoh paling klasik tentu saja ketidakpastian dalam tata ruang yang dialami pengusaha peternakan juga perkebunan. Pengusaha peternakan yang jauh-jauh hari datang dan mendirikan kandang di suatu wilayah, suatu hari bisa terusir oleh warga yang merasa terganggu meski belakangan bermukim di sana. Pengusaha perkebunan juga mengalami hal yang semacam. Wilayah yang diizinkan untuk berkebun ternyata termasuk ke hutan lindung karena peta acuan tidak sama.
Kita tentu tak ingin investor, baik dalam maupun luar negeri, yang ingin berbisnis di sini kecewa dan hengkang memilih negara lain karena iklim usaha yang kurang kondusif gara-gara kebijakan ngambang dan tidak tegas. Pemerintah pusat dan terutama pemerintah daerah harus benar-benar memperbaiki iklim berusaha. Beberapa daerah sudah berupaya menciptakan iklim yang ramah investasi seperti perizinan satu pintu yang berjalan efektif. Kita ingin semua daerah di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan bisnis bisa menerapkan kebijakan yang menyuburkan investasi.
Peni Sari Palupi