Selasa, 24 Maret 2015

Fenomena Harga Beras

Melambungnya harga beras mengawali 2015 cukup berat dirasakan masyarakat. Kenaikan harga beras terjadi hampir di semua wilayah, kenaikan harga beras cukup terasa. Hampir setiap akhir hingga awal tahun berikutnya terjadi kenaikan harga beras atau setiap November, Desember, Januari, dan Februari.

Kenaikan harga selalu pada kisaran 10% - 15%.  Sungguh kenaikan yang tidak wajar ketika harga beras kenaikan yang cukup tinggi menyentuh angka 30%, antara Rp1.000 – Rp3.000 per kg. Kenaikan sebesar ini cukup meresahkan masyarakat. Pasalnya, beras adalah bahan pangan utama di Indonesia. Apalagi konsumsi beras masyarakat Indonesia tertinggi, 130 kg/kapita/tahun, dibandingkan seluruh negara Asia, bahkan hampir dua kali lipat dari rata-rata konsumsi beras dunia.

Menurut penghitungan Kementerian Pertanian produksi beras 2014 sebesar 44,44 juta ton. Dengan peningkatan sebesar 3,63% produksi beras akan mencapai 45,21 juta ton pada 2015. Sementara, konsumsi beras nasional pada 2015 diprediksi mencapai 34,40 juta ton.  Dengan komposisi ini, pada 2015 neraca beras nasional akan mengalami surplus sebesar 10,81 juta ton. Pada periode 2015 – 2019 diperkirakan neraca beras nasional bakal tetap surplus mencapai 14,4 juta ton hingga 18,4 juta ton.  Lantas selama ini produksi beras telah dapat memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tapi kenapa terjadi kenaikan harga beras yang cukup tajam?

Merunut dari kenaikan harga di awal tahun ini bermula dari periode November dan Desember 2014, Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) disebabkan menyetop penyaluran beras untuk masyarakat miskin. Sehingga masyarakat yang biasanya mendapatkan raskin pada dua bulan tersebut otomatis menjadi konsumen aktif. Pengaruhnya cukup besar terhadap permintaan beras. Apalagi pada waktu bersamaan terjadi paceklik karena petani baru memasuki musim tanam.

Beberapa sebab lain yang membuat harga beras sulit dikontrol kenaikannya karena terlambatnya musim hujan pada 2014. Musim hujan yang seharusnya mulai Oktober justru mundur pada November terutama di Pulau Jawa sebagai sentra produksi beras utama. Hal ini mengakibatkan masa tanam padi yang dilakukan petani pun terpaksa mundur, apalagi di lokasi yang belum tersedia irigasi.

Meskipun demikian, pemerintah berani menyatakan persediaan cukup dan diproyeksikan  akan bertambah karena akan ada panen raya pada Maret – April 2015. Nyatanya, harga  justru melonjak hingga 30%. Seharusnya, sesuai hukum ekonomi jika persediaan mencukupi dan pasokan besar maka harga akan turun. Mengapa justru terjadi hal sebaliknya? Hal ini perlu menjadi kajian tersendiri agar tidak terulang pada tahun-tahun mendatang.

Upaya mengatasi kenaikan harga beras pun dilakukan dengan operasi pasar di beberapa daerah dan mempercepat penyaluran beras untuk rakyat miskin. Upaya pemerintah yang demikian cenderung seperti pemadam kebakaran, jika muncul kebakaran baru dilakukan upaya memadamkannya. Alangkah eloknya jika pemerintah sudah memiliki strategi dan program untuk meredakan gejolak harga beras pada musim paceklik. Pengalaman lebih dari satu dekade program raskin yang teratur dapat dijadikan model dalam menyelesaikan permasalahan lonjakan harga beras terutama pada musim paceklik.

Sejak awal program raskin memang dirancang untuk tujuan membantu masyarakat miskin dan stabilisasi harga. Untuk itu status, tugas, dan peran Bulog sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) diubah menjadi badan usaha milik negara (BUMN) dalam bentuk perusahaan umum. Perum Bulog mendapat tugas dari Dewan Ketahanan Pangan (DKP) sekaligus pendanaannya. Namun sebagai perusahaan, Perum Bulog juga menjadi profit center selain tugas public service obligation sebagai penyalur raskin. Dan pemerintah pun sebaiknya kembali mengaktifkan DKP sebagai lembaga yang memberi tugas kepada Perum Bulog.

Yang juga tidak kalah pentingnya, pemerintah melalui kementerian terkait dalam hal ini Kementerian Pertanian harus bisa menggenjot produktivitas pangan nasional utamanya beras. Selain itu, Kementerian Kesehatan perlu memberikan penyuluhan kepada para konsumen untuk secara lambat laun mengurangi konsumsi beras. Jika mampu menurunkan konsumsi menjadi 100 kg/kapita/tahun, sudah dapat dikurangi konsumsi sebanyak 7,5 juta ton/tahun. Apalagi sudah diketahui konsumsi beras terlalu tinggi dapat menyebabkan penyakit diabetes.

Jadi kedaulatan pangan dapat dicapai dari sisi produksi dan konsumsi. Dari sisi produksi dapat diupayakan berbagai input teknologi untuk meningkatkan produktivitas jika upaya ekstensifikasi atau pencetakan sawah baru masih sulit dilakukan. Sedangkan dari sisi konsumsi sebaiknya dilakukan upaya-upaya penurunan konsumsi beras dan menggantikannya dengan produk hortikultura dan peternakan.

Dengan demikian Indonesia akan surplus beras yang dapat diekspor untuk memenuhi keinginan Indonesia untuk feeding the world. Pada akhirnya petani sebagai pelaku usaha dan masyarakat penikmat beras bisa mendapat keuntungan serta pedagang juga bisa menjalankan usahanya secara sehat.

Tri Mardi Rasa

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain