Pemerintah dan DPR sepakat mencantumkan indikator pembangunan manusia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Ini konon kali pertama dalam sejarah Indonesia. Indikator itu antara lain angka kemiskinan 10,3%, angka pengangguran 5,6%, Gini Ratio (tingkat kesenjangan) 0,40, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 69,4. “Yang baru dalam APBN-P 2015 adalah komitmen pemerintah baru untuk melaksanakan pertumbuhan yang berkualitas, mengurangi kesenjangan antar-tingkat pendapatan di dalam masyarakat, dan juga untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia,” demikian pernyataan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro di berbagai media nasional.
Menarik memperhatikan poin terakhir tentang perbaikan kualitas manusia. Salah satu upaya memperbaiki kualitas manusia adalah melalui pemberian pangan dengan nilai gizi yang seimbang. Saat ini pola konsumsi kebanyakan masyarakat kita, apalagi yang tergolong miskin, masih didominasi karbohidrat. Karbohidrat lebih bermanfaat sebagai penyedia energi bagi tubuh. Sementara protein, khususnya dari sumber hewani seperti daging ternak, susu, telur dan ikan sangat penting bagi peningkatan kualitas manusia. Protein inilah yang membangun kecerdasan otak.
Konsumsi pangan sumber protein hewani kita masih saja terbilang rendah dibandingkan masyarakat negara-negara tetangga. Tak usah jauh-jauh memandang negara maju seperti Jepang, Amerika, atau negara-negara Eropa, disejajarkan negara ASEAN saja konsumsi kita termasuk rendah. Konsumsi daging ayam misalnya, baru sekitar 10 kg per kapita, sementara Thailand, Singapura, dan Malaysia masing-masing 16 kg, 28 kg, dan 38 kg.
Konsumsi pangan sumber protein hewani terkait dengan pembangunan sumber daya manusia, pembangunan kualitas anak-cucu kita. Sumber protein hewani kita mau dari mana? Pemerintah menyebut ingin mencapai swasembada daging sapi. Memang waktu pencapaiannya lebih lama ketimbang swasembada beras, jagung, dan kedelai. Kalangan pelaku bisnis sapi potong khususnya sedikit skeptis dengan slogan swasembada. Pasalnya sudah tiga periode upaya itu gagal total, tinggal sebatas perencanaan di atas kertas.
Permasalahan utama, menurut pelaku usaha, adalah sulitnya mendapat kepastian tentang kemampuan sapi lokal dalam menyediakan daging. Kalau dihitung populasi memang terlihat berlebih, tetapi sapi-sapi itu tidak selalu berakhir di rumah potong sebagai penyedia daging. Populasi yang dikuasai peternak kecil itu kebanyakan masih diperlakukan sebagai tabungan, bukan sebagai komoditas bisnis. Padahal kontribusinya diharapkan mencapai 70% dalam memasok kebutuhan nasional. Sementara yang 30% disediakan dari impor sapi bakalan dan daging beku. Jadi, salah hitung kemampuan pasok sapi lokal, bisa sangat berpengaruh terhadap harga daging di pasaran.
Memang tak mudah mencapai swasembada daging sapi, tapi masih banyak pelaku usaha yang optimistis asalkan hitung-hitungannya berdasarkan data yang jujur. Perlu program jangka panjang dengan target terukur dan pelaksanaannya berkelanjutan. Tak sekadar ganti dirjen, ganti program. Sapi merupakan industri biologis berumur panjang sehingga butuh waktu panjang pula untuk meningkatkan populasi di dalam negeri. Biarlah sementara kita impor sapi, indukan dan bakalan, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sembari mengembangkan sapi di dalam negeri. Bila populasi di negeri sendiri sudah cukup, kita hentikan importasi.
Sumber protein hewani yang cukup strategis tentu saja unggas. Produksinya saat ini sudah mencukupi kebutuhan nasional. Bahkan sejak tahun lalu bisa dikatakan berlebih. Indikasinya terlihat dari harga ayam hidup yang tidak mencapai harga pokok produksi sehingga pelaku industri perunggasan mengalami kerugian hingga triliunan rupiah. Sayang, kelebihan pasokan ini lebih disebabkan tidak tertatanya dengan baik industri tersebut. Pertumbuhan produksi tidak mampu diikuti dengan peningkatan konsumsi. Target konsumsi dobel digit yang mestinya dua tahun lagi, berdasarkan secara hitung-hitungan produksi bibit ayam, bisa terpenuhi tahun ini. Faktanya tidak sebagus itu.
Industri kita masih berkutat dengan berbagai masalah yang menyebabkan harga di tingkat konsumen jauh di atas harga di level peternak. Saat peternak berteriak rugi, konsumen tetap saja membayar mahal. Margin besar dinikmati pedagang perantara yang pernah dihitung kalangan pelaku bisnis sekitar Rp4.000/kg. Padahal kalau disparitas harga di tingkat konsumen tidak terlalu jauh dengan di kandang, bisa jadi tingkat konsumsi meningkat. Peternak senang, konsumen juga tak kalah senang dapat makan lebih banyak.
Marilah duduk bersama untuk menyusun kerangka besar industri unggas nasional dengan semangat saling menguntungkan. Kalau tidak kunjung mendapat solusi, kita sibuk dengan masalah kita, pemain asing segera masuk lalu menguasai pasar raksasa kita. Pintu Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dalam hitungan bulan segera terbuka. Permasalahan dalam negeri harus beres dulu baru kita bisa bersaing dengan pemain asing. Yang berani masuk, pastilah yang berdaya saing tinggi. Jadi, pemerintah, pelaku usaha, akademisi, juga masyarakat berkontribusilah agar bisnis penyedia protein hewani strategis ini mentas dari permasalahan akut sehingga perannya ikut membangun kualitas manusia makin nyata.
Peni Sari Palupi