Minggu, 1 Pebruari 2015

Pangan Indonesia Inc.

Kedaulatan pangan (food sovereignty) sebagai pilihan politik Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, menggantikan mazhab ketahanan pangan (food security), patut kita apresiasi. Kedaulatan pangan dicerminkan pada kekuatan mengatur pangan secara mandiri, yang didukung dengan, pertama, ketahanan pangan, terutama kemampuan mencukupi pangan dari produksi dalam negeri. Kedua, pengaturan kebijakan yang dirumuskan dan ditentukan bangsa sendiri. Ketiga, mampu melindungi dan menyejahterakan pelaku utama pangan, terutama petani dan nelayan.

Ketahanan pangan berarti terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup (jumlah dan mutu), aman, merata, dan terjangkau. Di sini terdapat tiga aspek. Pertama, ketersediaan, yang berarti pangan tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Kedua, distribusi, yang berarti dapat menjangkau ke pelosok Indonesia. Ketiga, konsumsi, berarti setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup, yang sesuai dengan kaedah gizi, kesehatan, halal, dan preferensi rumah tangga.

Di dalam mazhab ketahanan pangan menekankan ketersediaan pangan, apakah berasal dari produksi dalam negeri atau dari impor. Di dalam kedaulatan pangan lebih menekankan pada kemandirian negara dalam mewujudkan keterjaminan pangan melalui kebijakan, pengaturan, penguasaan, pengelolaan sumberdaya produksi, dan konsumsi pangan nasional, yang terlindungi dari kepentingan pasar global. Hal ini berarti, kita (pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen) mengoptimalkan dulu produksi dalam negeri. Impor adalah pilihan yang terakhir.

Impor, memang tetap diperlukan selama pemerintah atau pelaku usaha belum mampu memenuhi kebutuhan konsumen. Namun, pemerintah, dunia bisnis, dan masyarakat saling membahu mewujudkan kedaulatan pangan yang menjadi pilihan Presiden Joko Widodo.

Pangan, menurut UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, merupakan segala sesuatu dari sumber hayati produk-produk tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan, baik yang diolah maupun tidak, yang diperuntukan bagi konsumsi manusia. Jadi, termasuk juga bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, atau pembuatan makanan dan minuman.

Karena itu, dalam mewujudkan kedaulatan pangan, diperlukan spirit Indonesia Incorporated (Indonesia Inc), yaitu keharmonisan antara pemerintah sebagai regulator (juga produsen), dunia bisnis sebagai produsen pangan, dan konsumen pangan. Sebagai Indonesia Inc., pelaku usaha di Indonesia terbuka besaing satu sama lainnya dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, sesuai standar gizi, kesehatan, dan pilihan konsumen. Tapi, ketika menghadapi persaingan dengan pihak luar, kita berpadu bagaikan perusahaan besar ‘membela’ Indonesia.

Bukan apa-apa. Organisasi pangan dunia (FAO) sudah mengingatkan bahwa negara yang berpenduduk di atas 100 juta jiwa seperti Indonesia (sekarang berpenduduk sekitar 252 juta jiwa) tidak akan pernah menyejahterakan rakyatnya selama kebutuhan pangan dipasok dari impor.

Jauh sebelumnya, Bung Karno, pada peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia (kini Institut Pertanian Bogor), 27 April 1952, menyatakan pangan rakyat soal hidup atau mati. “Pangan rakyat soal hidup atau mati,” tegasnya. Berarti ketersediaan pangan dengan mengoptimalkan produksi dalam negeri menjadi sangat penting. Di sinilah pentingnya spirit Indonesia Inc., dalam mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia.

Spirit Incorporated ini sangat kental di Jepang. Di Negeri Sakura ini, menurut Sayidiman Suryohadiprojo (http://sayidiman.suryohadiprojo.com/), yang pernah menjadi duta besar di Jepang, tidak ada pengertian Japan Inc. Tetapi di Jepang terdapat hubungan erat pemerintah dan dunia bisnis. Di dalam bahasa Inggeris, hubungan ini disebut administrative guidance, yaitu pedoman ataupun petunjuk yang diberikan pemerintah kepada geraknya dunia bisnis.

Karena kebijakan pemerintah ramah dengan dunia bisnis maka dunia bisnis pun mengikuti petunjuk itu. Di laih pihak, konsumen di Jepang sangat cinta dengan produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri. Kita ambil contoh kecil: beras. Meski terdapat beras impor yang dipasarkan di Jepang, tapi rakyat Jepang lebih suka menyantap beras produksi petani Jepang.

Di sinilah pentingnya revolusi mental membangun spirit Indonesia Inc. dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia. Menurut Sayidiman, di Jepang berlaku sikap hidup atas dasar solidaritas kelompok. Sifat individu tunduk pada kelompok.

Harga dirinya tergantung pada nilai kelompok. Setiap kelompok berusaha menempati peringkat tertinggi. Kelompok bersaing satu sama lainnya. Tapi ketika menghadapi persaingan dari luar, mereka bersatu  menjadi kelompok besar dan kuat. Mari kita membangun pangan dengan spirit Indonesia Inc.

Ada tiga syarat pokok untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan semangat Indonesia Inc. Pertama, birokrasi yang bermutu. Kedua, pelaku usaha pangan harus berkualitas. Ketiga, semangat masyarakat konsumen yang mencintai produk-produk pangan produksi di dalam negeri. Dengan bingkai patriotisme dan nasionalisme, bukan hal yang sulit bagi kita  mewujudkan kedaulatan pangan yang telah menjadi pilihan politik Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Syatrya Utama

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain