Memasuki minggu pertama 2015, saatnya pemerintah dan pelaku usaha merencanakan apa yang hendak dilakukan selama Tahun Kambing ini. Tentu saja dengan melihat evaluasi kondisi 2014. Ada beberapa komoditas agribisnis yang perlu perhatian serius pemerintah, misalnya kelapa sawit, jagung, padi, sapi, dan unggas.
Kelapa sawit sampai hari ini masih menjadi andalan perolehan devisa sektor nonmigas. Dari konferensi yang digelar Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) 26 – 28 November silam di Bandung, Jawa Barat, tergambar bisnis penghasil minyak nabati ini. Data 2013 menunjukkan total produksi minyak sawit Indonesia mencapai 27,8 juta ton, dan mampu menyerap lebih dari 5 juta tenaga kerja. Ekspor minyak sawit dan turunannya mencapai US$15,8 miliar atau Rp175 triliun setahun.
Tahun lalu diperkirakan produksi minyak sawit kita menurun. Demikian pula nilai ekspornya berkurang akibat perekonomian negara tujuan pasar seperti Tiongkok dan India mengalami pelambatan dan pasokan minyak nabati lain di pasar dunia melimpah. Kilau “emas cair” ini kurang kinclong sepanjang 2014. Harganya bahkan di bawah harga patokan pengenaan bea keluar (BK) yang US$700/ton. Sudahlah BK nol pun, ekspor tidak terdongkrak.
Untuk mendongkrak harga dan menciutkan pasokan ke pasar global, pengamat sawit internasional Dorab Mistry menyarankan pemerintah Indonesia lebih serius melaksanakan mandatori penggunaan biodiesel berbahan baku minyak sawit. Pemerintah seharusnya mengalihkan dana subsidi bahan bakar juga untuk pengembangan biodiesel. Misalnya, untuk pengembangan teknologi produksi yang lebih murah dan mendorong produksi etanol yang penting dalam produksi biodiesel.
Selain itu tentu saja peran pemerintah dalam level tinggi diperlukan untuk melakukan diplomasi sawit ke kancah internasional. Presiden Joko Widodo juga penting mengedepankan sawit dalam forum bisnis internasional, seperti halnya PM Australia yang tak lupa bicarakan sapi tatkala bertemu pimpinan negara yang menjadi pasar ekspor sapi, seperti Indonesia.
Di dalam negeri juga harus secepatnya ada upaya merapikan tata ruang, perizinan, infrastruktur, peningkatan produktivitas sawit rakyat, dan sebagainya untuk memperbaiki daya saing nasional.
Jagung dan padi memang sudah ditekadkan pemerintah saat ini untuk segera berswasembada tiga tahun ke depan. Barangkali soal padi, kita boleh berharap positif karena upaya pemerintah telah terlihat dalam membenahi irigasi, bagi-bagi traktor, memberikan asuransi untuk petani bila ia gagal panen dan sebagainya.
Jagung di sisi lain, ada ketidaksambungan antara kebutuhan industri pakan ternak yang tahun lalu saja menampung 7,5 juta ton jagung pipil untuk bahan baku dengan 3 juta ton di antaranya impor. Impor ini, menurut kalangan pabrikan, lantaran jagung produksi nasional yang memenuhi standar kurang dari 25%. Sementara produksi nasional melimpah mendekati 18 juta ton. Ini harus ada terobosan untuk mengurai kendala dan mempertemukan pasokan dari petani dan permintaan dari industri agar cita-cita swasembada benar-benar tercapai. Dan yang penting juga, devisa untuk impor bisa mensejahterakan petani jagung di dalam negeri.
Sapi, baik sapi potong maupun sapi perah, menyimpan permasalahan berat. Dari sisi teknis, tidak ada aktivitas produksi bibit yang masif dan menghasilkan bibit berdaya saing tinggi. Dari sisi ekonomi, permasalahan sapi perah lebih parah lagi karena jumlah sapi menurun akibat harga jual susu segar tidak menggairahkan bagi peternak. Yang kini bertahan hanyalah peternak yang mampu mencapai skala ekonomis, menerapkan teknologi, dan melakukan pengolahan produk susu serta mencari pasar sendiri di luar industri pengolahan susu.
Bolehlah pemerintah buka kran impor tetapi sebaiknya untuk sapi calon induk berkualitas dan bakalan sapi. Jangan pula banyak-banyak mengimpor daging beku karena tidak memberikan nilai tambah di dalam negeri. Sementara itu, gencarkan upaya produksi bibit yang lebih murah dengan memanfaatkan limbah di perkebunan sawit. Peraturan sudah diterbitkan, tetapi pelaksanaannya terkendala pasokan calon induk.
Sementara agribisnis unggas, khususnya unggas ras, juga mengalami kondisi buruk tahun lalu. Harga anak ayam umur sehari maupun ayam besar di bawah ongkos produksi lantaran oversuplai. Kondisi ini sebenarnya acapkali terjadi tetapi tidak sedahsyat tahun lalu. Biasanya harga pasar yang bikin nombok hanya berlangsung beberapa waktu saja, tetapi tahun lalu terlalu lama sehingga triliunan kerugian terpaksa ditelan para pelaku usaha.
Selama ini industri unggas ras nyaris berkembang tanpa banyak campur tangan pemerintah. Pemerintah hanya mengendalikan pasokan ayam bibit dan bahan baku pakan impor. Selebihnya ditangani sendiri oleh para pelaku bisnis. Namun kali ini pemerintah diminta turun tangan memberikan solusi yang tepat dalam mengatur ketersediaan bibit ayam dan melindungi perunggasan dari serbuan impor dengan cara-cara yang legal di kancah organisasi perdagangan dunia. Di dalam negeri, pemerintah bersama pelaku usaha menggencarkan konsumsi produk ayam agar kebutuhan protein hewani masyarakat terpenuhi dan bisnisnya pun menguntungkan semua pelaku.
Peni Sari Palupi