Amerika Serikat, Uni Eropa, Tiongkok, India, Brazil, Filipina, dan Argentina, kini sedang giat-giatnya melaksanakan kebijakan mandatori bahan bakar nabati (BBN). Alasannya, pertama, mengurangi ketergantungan BBM fosil; kedua, mengurangi emisi; dan ketiga, mendorong pembangunan pedesaan. Berbagai isentif dikeluarkan untuk menggairahkan mandatori BBN.
Dengan pemerintah menaikkan harga BBM fosil bersubsidi November lalu sekitar 30,36 persen untuk premium dan 36,37 persen untuk solar, sebenarnya bisa menjadi momentum bagi pengembangan BBN di Indonesia. Selain bisa mengurangi ketergantungan pada BBM fosil, juga mendorong pembangunan pedesaan, yang bisa memasok bahan baku untuk memproduksi BBN. Bahkan harga BBN sudah bisa bersaing dengan harga BBM fosil yang masih dapat subsidi.
BBN adalah bahan bakar bermutu komersial dari biomassa, yang bisa berbentuk cair, gas, dan padat. Biodiesel, bioetanol, dan bioavtur merupakan BBN cair. Dalam bentuk gas, misalnya, biogas dan biohidrogen. Dalam bentuk padat, misalnya, biobriket dan arangkayu. Tetapi yang banyak menjadi perhatian untuk transportasi dan industri adalah biodiesel dan bioetanol.
Dari segi komoditas, bahan baku biodiesel yang terbukti berpotensi adalah kelapa sawit dan kelapa, sedangkan yang potensinya belum terbukti adalah jarak pagar, kemiri sunan, nyamplung, mambai, dan nimba. Untuk bahan baku bioetanol yang sudah terbukti potensinya adalah tebu dan singkong, sedangkan yang belum terbukti pontensinya adalah sorgum manis, nipa, aren, dan sagu. Khusus untuk bioetanol ini, bahan bakunya sangat bersaing dengan kebutuhan pangan.
Dengan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sebenarnya terjadi pengalihan alokasi anggaran pemerintah, dari yang semula bersifat konsumtif (untuk subdidi BBM) menjadi produktif, misalnya untuk pembangunan sarana irigasi, jalan, dan sebagainya. Dari anggaran produktif ini bisa juga dialokasikan untuk mengadakan penelitian potensi bahan baku alternatif biodiesel seperti nyamplung dan kemiri sunan, serta mikroalga sebagai bahan baku bioetanol.
Misalnya, jika dari riset mikroalga ini terbukti berpotensi secara komersial untuk dikembangkan sebagai bahan baku bioetanol, maka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di pesisir pantai, karena akan menggenjot permintaan mikroalga sebagai bahan baku bioetanol. Begitu juga dengan nyamplung dan kemiri sunan, jika terbukti berpotensi secara komersial sebagai bahan baku biodiesel, diharapkan bakal merangsang rakyat menanam nyamplung dan kemiri sunan. Hal ini berarti, pengembangan BBN di Indonesia, akan mendorong pembangunan pedesaan.
Sampai saat ini, yang paling siap dalam pengembangan biodiesel adalah industri kelapa sawit. Dengan mendorong peningkatkan penggunaan biodiesel berbasis sawit, yang bisa dicampur dengan solar (misalnya sampai 25% pada 2025 sesuai dengan kebijakan mandatori BBN), sehingga menghasilkan biosolar, maka negara dapat menghemat devisa. Seperti diketahui, tidak kurang diperlukan devisa sekitar US$ 35 miliar per tahun hanya untuk mengimpor solar.
Di sisi lain, pemerintah juga harus menelurkan kebijakan kepada industri otomotif untuk mengembangkan kendaraan yang bisa mengakomodasi penggunaaan bahan bakar BBN. Seperti kita ketahui, transportasi termasuk salah satu sektor yang banyak mengonsumsi bahan bakar. Dengan kebijakan ini, maka dapat menodorong peningkatan konsumsi BBN domestik.
Dengan demikian, diharapkan dapat mendorong peningkatan investasi pabrik BBN. Dari data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), pada 2012, dari kapasitas terpasang produksi 5,6 juta kilo liter, utilisasi pabrik BBN baru sekitar 2,2 juta kilo liter atau sekitar 40%. Hal ini, secara bisnis, banyak utilitas yang menganggur karena tidak beroperasi secara penuh. Karena itulah, pemerintah harus tegas untuk mendorong pelaksanaan kebijakan mandatori BBN ini.
Dorab Mistry, analis dari Godrej International Limited dan pengamat agribisnis kelapa sawit, menyatakan, pemerintah Indonesia harus lebih serius dalam percepatan mandatori BBN berbasis sawit ini sehingga mendorong konsumsi bahan minyak sawit mentah (crude palm oil atau CPO) untuk bahan baku biodiesel. Dengan meningkatnya konsumsi BBN akan mendorong konsumsi CPO, yang pada akhirnya akan mendorong pertumbuhan investasi pengembangan biodiesel.
Menurut APROBI, ada beberapa kebijakan yang diperlukan untuk mendukung pengembangan biodiesel berbasis sawit ini. Pertama, dukungan intensifikasi perkebunan kelapa sawit. Kedua, memberikan insentif khusus kepada perkebunan kelapa sawit yang mengkhususkan diri untuk bahan baku biodiesel. Ketiga, dukungan pengembangan industri metanol sebagai bahan pembantu produksi biodiesel. Keempat, intensif perpajakan untuk pengembangan BBN.
Jadi, kita harus tegas mendukung pengembangan biodiesel berbasis sawit ini. Jangan sampai nanti, justru kita kembali mengimpor biodiesel berbasis sawit yang dikembangkan di luar negeri, dengan harga lebih mahal, karena produsen di luar negeri menikmati nilai tambah yang tinggi.
Tri Mardi Rasa