Menyadari ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang sempit, pemerintahan Presiden Joko Widodo memilih langkah pahit dengan mengurangi subisidi bahan bakar minyak (BBM). Penolakan dari berbagai pihak yang sampai hari ini masih berlangsung tidak menyurutkan niatnya mewujudkan janji-janjinya semasa kampanye dulu.
Harga premium dan solar bersubsidi naik Rp2.000/liter masing-masing menjadi Rp8.500 dan Rp7.500 seliter terhitung sejak 18 November 2014. Ada sekitar Rp120 triliun anggaran yang bisa dihemat. Presiden pun berjanji mengalihkan anggaran ini ke sektor produktif.
Sektor pertanian termasuk prioritas utama yang mendapat sokongan penuh pemerintahan Jokowi – JK supaya dapat mewujudkan cita ke-7 dari nawa cita (9 program prioritas), yaitu kedaulatan pangan. Beras sampai saat ini masih menjadi pangan pokok masyarakat Indonesia sehingga produksi beras terus digenjot dengan berbagai cara. Pemerintah memberikan amunisi berupa alokasi dana dari pengalihan subsidi BBM sebanyak Rp50 triliun yang dicairkan secara bertahap.
AGRINA edisi 240 yang terbit 12 November lalu juga menyoroti keseriusan pemerintah memperbaiki sarana irigasi. Keseriusan ini makin terlihat dengan rencana perbaikan sarana irigasi yang sekarang dicanangkan mencakup luasan pertanaman 3 juta ha pada periode 2015 – 2019. Tujuannya, menurut Dr. Haryono, Pelaksana Tugas Dirjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian, untuk meningkatkan indeks pertanaman, meningkatkan produktivitas per hektar, dan ujung-ujungnya menaikkan produksi nasional.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menggambarkan kondisi jaringan irigasi di Indonesia pada 2014 yang tercatat 7,145 juta ha. Luas jaringan irigasi dibagi tiga, yakni yang menjadi kewenangan pemerintah pusat (2,376 juta ha), pemerintah provinsi (1,105 juta ha), dan pemerintah kabupaten/kota (3,663 juta ha). Yang menjadi kewenangan pusat, 77,3% dalam keadaan baik. Sementara yang di ranah provinsi dan kabupaten/kota 46,6% dan 41% dalam keadaan baik juga. Sisanya rusak ringan dan berat. Nah, di sinilah peran berkah dana pengalihan subsidi BBM diperlukan.
Pada 2015, Kementerian Pertanian yang kini dipimpin Amran Sulaiman ini menetapkan perbaikan irigasi seluas 1 juta ha. Dengan rata-rata produktivitas padi nasional saat ini yang 5,15 ton gabah kering giling (GKG)/ha, maka pada akhir 2015 nanti, diharapkan ada tambahan 5,15 juta ton gabah tanpa menambah luas lahan. Hitung-hitungannya, perbaikan irigasi ini akan menambah frekuensi penanaman padi minimal satu kali dalam hamparan 1 juta ha tersebut.
Dengan perbaikan jaringan irigasi tersebut, target produksi 73,4 juta ton GKG tahun depan akan relatif lebih mudah tercapai ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Tentu saja tak hanya perbaikan sarana pengairan saja yang bisa membuat produksi membaik. Bersamaan dengan itu, tetap ada penunjang lain, seperti mekanisasi dalam pengolahan lahan misalnya bantuan traktor tangan, penggunaan benih unggul, pupuk berimbang, pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT), dan penekanan kehilangan hasil dalam proses pascapanen. Selain itu banyak juga suara yang menginginkan subsidi sarana produksi dialihkan saja ke subsidi harga produk akhir atau jaminan pembelian oleh Bulog dengan harga menguntungkan.
Infrastruktur memang benar-benar menjadi prioritas pemerintahan sekarang. Bahkan saking seriusnya soal perbaikan irigasi, salah satu eselon tiga Kementerian Pertanian menggambarkan pengerahan tenaga penyuluh untuk memantau kegiatan tersebut. Seorang penyuluh tersebut diberi tugas mengunjungi lokasi perbaikan 10 kali sebulan guna memastikan hasilnya benar-benar sesuai harapan. Bukan sekadar proyek yang hasilnya tak memenuhi ekspektasi seperti tempo dulu.
Sebetulnya, tak cuma irigasi yang perlu diseriusi. Subsidi benih unggul dan pupuk pun perlu mekanisme yang lebih baik bila masih tetap dipertahankan supaya mutu produk subsidi bisa dipertanggungjawabkan dan penyampaiannya tepat waktu. Apa gunanya pupuk subsidi bila datangnya di tangan petani terlambat? Tanaman pun tak akan bongsor bila telat dipupuk.
Pun bantuan sarana olah tanah atau traktor dan sarana pascapanen, sebaiknya benar-benar diperhitungkan sesuai kondisi daerah. Selain produknya bermutu, pendampingan oleh penyuluh perlu pula diintensifkan seperti zaman Orde Baru dulu. Jadi, petani benar-benar mendapat bimbingan dari penyuluh yang kompeten. Tidak seperti sekarang banyak petani mengeluhkan ketiadaan penyuluh, kalau pun ada kurang menguasai teknis komoditas yang mereka kembangkan.
Dengan semua upaya tersebut, bolehlah kita berharap, swasembada beras yang berkelanjutan akan terwujud. Namun bila kecepatan tumbuh populasi penduduk Indonesia tak lagi terkejar oleh pertumbuhan produksi beras nasional yang paling optimal, bolehlah kita menyeriusi upaya mengurangi konsumsi beras dengan diversifikasi pangan. Jangan hanya jargon tetapi terencana dan terukur. Toh, sumber karbohidrat tak cuma beras, tetapi masih banyak umbi-umbian yang bisa dikembangkan. Mari kita kawal niat baik pemerintah agar masyarakat pun tenang karena pangannya tercukupi jumlah dan kualitasnya.
Peni Sari Palupi