Membicarakan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku akhir tahun depan cukup bikin risau. Seberapa siap sebenarnya pelaku bisnis, termasuk agribisnis, menghadapi zaman keterbukaan pasar 10 negara tersebut?
Bagi pelaku bisnis yang berpikiran positif, terbukanya MEA adalah peluang luar biasa besar karena mencakup 500-an juta konsumen. Sebaliknya, pebisnis yang pesimistis, berlakunya MEA adalah saatnya pasar domestik dikerubuti pemain asing.
Agribisnis unggas, khususnya ayam ras, terbilang, meminjam istilah politisi Senayan, “ngeri-ngeri sedap”. Bagaimana tidak ngeri bila bisnis yang bernilai Rp130 tiliun amblas begitu saja tersapu gelombang produk dari negeri tetangga. Sebaliknya pula akan menjadi sangat sedap bila produk unggas kita mampu bersaing dan meraih hati konsumen yang jumlahnya sama besar dengan penduduk kita sendiri.
Sebelum yang ngeri itu datang, semua pelaku bisnis terkait dan pemerintah semestinya bahu-membahu menciptakan kondisi yang baik. Mata rantai produksi unggas diperbaiki mulai dari bahan baku pakan. Indonesia memang miskin bahan baku sumber protein, seperti tepung daging dan tulang, bungkil kedelai, dan tepung bulu. Kesemuanya diimpor untuk membuat pakan unggas. Separuh lainnya adalah jagung yang sangat mungkin diupayakan untuk tidak impor.
Namun setelah lebih 15 tahun masalah jagung tidak kunjung terselesaikan. Betapa sulitnya mengklopkan kondisi permintaan pabrikan pakan dan pola panen petani jagung. Yang satu rata sepanjang tahun, yang lain berfluktuasi. Impor memang tidak tabu dalam zaman perdagangan bebas. Akan tetapi kalau volumenya cenderung naik untuk komoditas yang sebenarnya mampu diproduksi sendiri berarti ada masalah serius. Dengan berkembangnya industri pakan ternak, praktis jagung akan semakin meningkat. Tahun ini Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT) memperkirakan volume impor jagung mencapai 3,3 juta ton. Sementara rekor impor paling sedikit pernah dibukukan pada 2009 sekitar 300 ribu ton.
Tak hanya pola panen yang tak klop. Hambatan logistik pun tak kurang besar sehingga biaya angkut dari sentra produksi jagung ke sentra konsumsi menjadi mahal.
Rantai berikutnya bibit ayam. Di Indonesia bobot panen paling banter 1,7 kg seekor. Padahal di Amerika dan Brasil misalnya, bobot panen paling tidak 2,5 kg. Dari hitung-hitungan produksi daging, lebih efisien panen ukuran besar. Untuk jumlah tonase produksi yang sama, jumlah bibit ayamnya lebih sedikit. Tapi ini tentu tak mudah karena menyangkut selera konsumen. Konsumen kita lebih suka ayam ukuran kecil, “ngeri” melihat paha ayam yang besar-besar. Bila konsumen kita sudah “minded” ayam dari rumah potong, bobot panen bisa dinaikkan, lalu diproduksi ayam olahan.
Lalu dalam hal teknik budidaya. Negara tetangga kita sudah memanfaatkan kandang tertutup (closed house) secara lebih intensif. Di Thailand dan Malaysia, petenak lebih banyak memanfaatkan kandang tertutup yang kondisinya bisa diciptakan sesuai kebutuhan ayam lebih banyak ketimbang kandang terbuka. Sementara pembudidaya unggas kita masih lebih banyak yang menggunakan kandang terbuka. Meskipun dalam tahun-tahun terakhir, tren penggunaan kandang tertutup meningkat. Kepadatan populasi ayam broiler misalnya, dalam kandang tertutup bisa lebih banyak dari 10 ekor/m2 di kandang terbuka menjadi 15 ekor/m2. Jadi, pemanfaatan lahan lebih efisien.
Satu contoh saja pemikiran Imdesmiarti, wanita peternak ayam petelur di Payakumbuh, Sumatera Barat. Memikirkan persaingan dengan produk telur asal Malaysia, ia tak segan berinvestasi membangun kandang tertutup. Ia sadar betul langkah itu untuk meningkatkan efisiensi produksi. Kandang bisa dibuat bertingkat sehingga menampung lebih banyak ayam petelur, jadi lagi-lagi lebih irit tempat. Dengan manajemen yang bagus, performa ayam pun akan lebih baik lagi. Kematian bisa ditekan.
Rantai berikutnya masuk ke rumah pemotongan. Bila di sekitar peternakan unggas broiler dibangun rumah potong, transportasi produk lebih efisien. Jumlah ayam hidup yang diangkut truk jelas lebih sedikit ketimbang ayam dalam bentuk karkas yang lebih ringkas. Kendati pun pebisnis harus melengkapi truknya dengan rantai dingin agar tetap mutu tetap terjaga sampai ke tangan konsumen. Di sisi konsumen, edukasi perlu lebih intensif dan masif untuk meyakinkan mereka bahwa daging dingin produksi rumah potong lebih higienis ketimbang daging segar dan juga dijamin halal seperti pemotongan yang dilakukan di pasar tradisional.
Untuk memacu perkembangan rumah potong, pemerintah perlu mendukung dengan menerbitkan rekomendasi rumah potong yang memenuhi standar kepada para konsumen, minimal kalangan hotel, restoran, dan katering. Selain juga mengupayakan peningkatan kualitas rumah potong yang masih kurang memenuhi standar.
Dan yang tak kalah penting adalah membangun visi yang sama di kalangan semua pelaku bisnis. Perlu kesadaran bersama para pemangku kepentingan untuk rukun bersatu menghadapi era kesejagatan ASEAN. “Musuh” bersama dari negara tetangga segera datang, mari hadapi dengan peningkatan efisiensi di semua lini.
Peni Sari Palupi