Banyak harapan masyarakat yang digantungkan pada Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) sejak terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia melalui pemilihan umum pada 9 Juli 2014 lalu.
Pun kalangan pelaku agribisnis sangat berharap presiden baru bisa menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah yang ditinggalkan presiden sebelumnya. Selain itu juga menanti pemenuhan janji-janji yang dilontarkan saat mereka berkampanye.
Pasangan Jkowi – JK sangat berkeinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia yang sejalan dengan keinginan menuju kejayaan yang pernah dicapai Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Dua kerajaan yang menguasai dan memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan dalam memenuhi berbagai aspek kepentingan negara.
Sektor perikanan disebut sebagai penggerak pembangunan ekonomi nasional yang berpeluang besar, memerlukan penanganan yang bisa memanfaatkan sumber daya lebih optimal, termasuk akuakultur dan pemanfaatan bioteknologi. Bahkan Jokowi - JK menargetkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Kelautan dan Perikanan sebesar 7%/tahun selama masa kepemimpinan mereka. Potensi sektor kelautan dan perikanan pertumbuhan PDB masih bisa digenjot sebab sumber daya di hulu masih melimpah. Sedangkan, industri pengolahannya masih sangat minim. Data dari Kamar Dagang Indonesia tercatat ada 580 perusahaan pengolahan perikanan yang beroperasi di Indonesia dan tumbuh pesat.
Tidak hanya itu, pengembangan sektor agribisnis pun harus digenjot agar bisa lebih efisien dan berdaya saing di pasar dalam negeri dan pasar mancanegara. Harapan pelaku usaha budidaya pada pemerintah baru yang akan menjadi komando dalam menentukan arah pembangunan negeri ini adalah tidak adanya impor pangan. Pasalnya, menurut Fadel Muhammad, Ketua Umum Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri, bangsa besar ini mampu memproduksi kebutuhan pangan di dalam negeri. Sedangkan untuk komoditas yang tidak bisa diproduksi dalam negeri, seperti gandum, harus ada program pengganti komoditas yang tidak bisa diproduksi itu dengan tenggat waktu lima tahun.
Juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana pemerintah baru bisa memberikan masyarakat berpendapatan seperti petani dan nelayan. Penanggulangan kemiskinan petani dan nelayan, membangun infrastruktur irigasi dan memperbaiki jaringan irigasi, akses permodalan dan teknologi bagi petani dan nelayan.
Yang perlu mendapatkan perhatian juga adalah meningkatnya jumlah impor pangan, seperti beras, jagung, dan kedelai. Memang hal ini tidak terlepas dari pertambahan penduduk yang melaju 1,45%/tahun. Sementara itu, lahan pertanian tanaman pangan berkurang 100 ribu ha per tahun. Jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin lima tahun mendatang ketergantungan Indonesia terhadap komoditas tersebut semakin besar atau mengalami minus hingga 4 juta ton. Presiden baru harus bisa membenahi semuanya mulai sekarang. Sebab, jika tidak ada gerakan apa-apa jangan heran lagi 16 tahun kemudian Indonesia akan mengalami minus pasokan komoditas pangan sekitar 12 juta ton.
Harus ada gerakan spektakuler terutama menyangkut lahan dan kesejahteraan petani sekaligus untuk kemandirian pangan bangsa. Teknologi termutakhir sangat dibutuhkan untuk menggerakkan semuanya. Apalagi dengan kondisi areal pertanian yang tersedia saat ini dan ketersediaan lahan subur sangat rendah. Akses teknologi yang mudah sangat diharapkan petani guna meningkatkan kesejahteraannya, selain akses permodalan yang selama ini menyulitkan mereka. Termasuk pembangunan infrastruktur yang sangat terkait dengan perekonomian secara luas. Sebab infrastruktur ini berpengaruh pada daya saing semua produk agribisnis. Tidak hanya jalan raya tetapi juga sarana transportasi yang lebih efisien, pelabuhan, bandara, sarana perekonomian lainnya.
Memang, semua itu tidak mudah bagi Presiden Baru untuk mengejawantahkannya. Tahun pertama kepemimpinannya akan sulit untuk menjalankan program-program pembangunan karena ruang fiskal APBN 2015 amat sempit. Kendati demikian, Presiden dan Wakil Presiden tetap harus berupaya menjalankan komitmen untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dan kedaulatan pangan.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan tidak cukup hanya dengan membenahi sistem produksi. Pemerintah harus mengatur konsumsi yang fokus pada kepentingan lokal dan nasional. Itu sebabnya, pemerintah harus memproteksi dan mengatur kebijakan setor pertanian nasional dan melindungi pasar dalam negeri dari perdagangan internasional yang tidak adil.
Jangan sampai pula Indonesia terus terjebak dalam impor pangan yang meningkat 400% dalam kurun 10 tahun terakhir, dari US$3,34 miliar pada 2003 menjadi US$14,9 miliar pada 2013. Apalagi 2015 Indonesia akan memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Jangan sampai kita hanya jadi penonton karena produk-produk agribisnis kita kalah bersaing dengan negara-negara ASEAN.
Agar negeri tercinta ini berhasil menjadi negara yang hebat, Presiden ke-7 kita perlu mendengar suara rakyat dan melaksanakannya seperti satu bait lagu Manusia Setengah Dewa dari Iwan Fals, Wahai Presiden kami yang baru, kamu harus dengar suara ini ….
Tri Mardi Rasa