Petani acapkali hanya dilihat kala pemilihan umum. Mereka diperhatikan sekadar dimanfaatkan untuk mendulang suara supaya sukses merambah lembaga legislatif. Padahal petani adalah komunitas berjumlah besar dan berperan besar dalam memproduksi pangan bagi 240 juta lebih mulut penduduk negeri ini. Namun kesejahteraan rata-rata petani kita masih perlu diperjuangkan.
Kalau ingin menaikkan kesejahteraan rakyat yang langsung berdampak signifikan, mulailah dari petani. Petani tanaman pangan misalnya, rata-rata kepemilikan lahannya hanya sekitar angka klasik 0,3 ha per kepala keluarga. Bila rata-rata produktivitas padinya hanya 5 ton/ha dengan harga gabah Rp4.500-an/kg, berapa penghasilan petani tersebut? Belum sebesar mencapai upah minimum provinsi DKI Jakarta. Sampai-sampai Mentan Suswono dalam suatu kesempatan mengatakan, sampai kapanpun petani dengan lahan sesempit itu sulit sejahtera.
Demikian pula petani kakao yang produktivitasnya di bawah 500 kg/ha/tahun. Kendati harga biji kakao saat ini melambung sampai Rp37 ribu/kg, tapi kalau petani hanya memperoleh 500 kg saja setahun, keluarganya tak akan mampu hidup dengan layak. Apalagi menyekolahkan anak-anaknya hingga pendidikan tinggi.
Menarik apa yang dilakukan pemangku kepentingan kakao dalam upaya mereka mendongkrak produktivitas kebun petani. Terlepas itu sekadar kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan, upaya kalangan LSM negeri cokelat, Swiss, yang menggandeng industri pengolah kakao cukup menarik. Pasalnya, mereka menyentuh langsung petani yang berpotensi untuk menyejahterakan diri dengan menaikkan produktivitas.
Mereka diajari tata cara berproduksi yang baik, diinformasikan pentingnya kecukupan nutrisi bagi keluarga, dibina untuk berorganisasi dan membentuk bisnis sampai mendapatkan sertifikasi keberlanjutan produksi. Tujuan teknisnya, menaikkan produktivitas ke level yang menguntungkan minimal dua kali lipat sehingga mengurangi kemiskinan. Sedangkan tujuan industrinya jelas menjamin pemenuhan pasokan bahan baku.
Sungguh menarik melihat antusiasme orang-orang industri pengolahan yang terlibat di dalam program tersebut berusaha meningkatkan produksi kakao. Kita bisa mengerti karena hal itu berhubungan dengan kelangsungan hidup mereka. Tanpa biji kakao, industri mereka tidak akan berlangsung terus. Jadi, ini menyangkut hajat hidup mereka juga. Bila petani berbahagia dengan produksi dan hasil penjualan kakaonya, niscaya mereka bersemangat untuk terus menekuni kegiatan di kebun biang cokelat. Tak semua orang suka berlama-lama 5 - 6 jam sehari di kebun untuk merawat tanaman kakao. Bandingkan dengan kelapa sawit yang tak perlu sesering itu diperhatikan. Jadi, petani perlu mendapat bimbingan teknis dan dorongan agar tetap di kebun.
Mengingat generasi petani kakao dan tanamannya sudah banyak yang uzur, komunitas itu menyeleksi petani agar mendapatkan yang benar-benar berminat terus hidup dari komoditas tersebut. Akses ke pasar dibantu dengan menghubungkan ke industri pembeli. Petani pun mendapat kemerdekaan untuk menjual ke mana saja yang dinilai memberikan harga terbaik.
Pola yang baik ini tentu tak bisa diaplikasikan ke semua komoditas. Untuk petani tanaman pangan tadi, perlu pendekatan dan solusi yang berbeda. Mereka membutuhkan akses ke lahan yang lebih luas untuk mencapai skala ekonomis. Bisa dengan bagi-bagi lahan ala reforma agraria. Atau bisa juga dengan meminjami mereka lahan-lahan mangkrak yang jutaan hektar luasnya di bumi pertiwi ini. Yang terakhir ini memang tidak mudah. Lebih dari satu dekade digaungkan tapi tak kunjung terwujud karena rumitnya urusan pinjam-meminjam lahan. Diperlukan kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan masalah lahan.
Di samping perluasan akses ke lahan, tampaknya subsidi sarana produksi, terutama pupuk dan benih, perlu dipertimbangkan pengalokasiannya. Sudah banyak pakar ekonomi pertanian yang menyuarakan perlunya subsidi itu dicabut dialihkan ke subsidi produk akhir. Pasalnya, mereka sering melihat penyaluran saprodi bersubsidi tak sesuai target, merembes ke pihak-pihak yang tidak berhak karena disparitas harga yang cukup jauh dibandingkan pupuk komersial. Tatkala petani membutuhkan, justru pupuk menghilang di pasaran meskipun produsen pupuk sudah menyediakan sesuai permintaan pemerintah. Bahkan petani terutama yang sudah menerapkan teknologi berani menyatakan harga pupuk tak perlu disubsidi, yang penting tersedia saat mereka butuhkan.
Jiwa wirausaha tampaknya juga perlu ditumbuhkan di kalangan petani. Mereka diajari berinvestasi untuk keberlanjutan bisnis mereka dengan menabung. Petani-petani komoditas perkebunan, seperti kelapa sawit dan kakao, perlu didorong supaya punya tabungan peremajaan tanaman. Jadi ketika waktu peremajaan tiba, mereka tak kebingungan mencari dana. Secara teknis mereka juga dipasok informasi bagaimana mengelola lahan mereka sementara tanaman utama dalam periode tidak produktif, seperti dengan tumpang sari. Tumpang sari ini perlu dicontohkan langsung di lahan sekitar lokasi petani agar mereka melihat hasilnya dengan mata kepala sendiri. Jadi, semua pemangku kepentingan agribisnis sebaiknya mengarahkan perhatian dan mengupayakan kesejahteraan petani agar mereka tetap berwirausaha di sana. Jangan hanya basa-basi kala pemilu saja.
Peni Sari Palupi