Selasa, 19 Agustus 2014

Saatnya Berpaling (Lagi) ke Energi Terbarukan

Permasalahan subsidi bahan bakar minyak (BBM) seakan menjadi bara dalam sekam, sewaktu-waktu meledak. Serba salah memang. Bila subsidi dihapuskan bakal mengerek harga-harga, termasuk pangan dan transportasi. Namun bila dipertahankan juga tak kalah sulit karena volumenya makin membengkak sehingga membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Bisa jadi, masyarakat awam kita belum banyak menyadari bahwa negara kita tercinta ini bukan lagi negara penghasil minyak bumi yang berlimpah. Sejak 2004, jumlah minyak bumi yang dihasilkan dari tanah Nusantara ini sudah lebih kecil ketimbang jumlah yang kita impor. Jadilah Indonesia net-importer minyak bumi, termasuk BBM. Dan puncaknya, negeri ini keluar dari organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) pada 2008. Setelah itu produksi minyak bumi kita kian menurun, sementara penemuan ladang minyak baru belum ada yang signifikan.

Karena itu, untuk “menyehatkan” keuangan negara, APBN-P 2014 mengamanatkan pengurangan kuota BBM bersubsidi dari 48 juta KL menjadi 46 juta KL. Guna menjalankan amanat tersebut, BPH Migas mengeluarkan Surat Edaran tentang Pembatasan Solar dan Premium agar kuota 46 juta KL bisa cukup sampai akhir 2014.

Pertamina menjalankan kebijakan tersebut secara bertahap mulai 1 Agustus 2014. Seluruh SPBU di Jakarta Pusat tidak lagi menjual solar bersubsidi. Kemudian sejak 4 Agustus 2014, waktu penjualan solar bersubsidi di seluruh SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali dibatasi pukul 08.00 - 18.00 untuk klaster tertentu. Penentuan klaster tersebut difokuskan untuk kawasan industri, pertambangan, perkebunan, dan wilayah-wilayah dekat pelabuhan yang rawan penyalahgunaan solar bersubsidi. Sementara itu, SPBU di jalur utama distribusi logistik tidak dilakukan pembatasan waktu penjualan solar. 

Tidak hanya solar di sektor transportasi, mulai 4 Agustus 2014 itu juga, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20% dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30GT. Selanjutnya, terhitung mulai 6 Agustus 2014, seluruh SPBU di jalan tol tidak menjual premium bersubsidi, tapi hanya menjual Pertamax. Sampai akhir Juli lalu, kuota solar yang terpakai sudah 60% dari 15,16 juta kiloliter dan premium sudah 58% dari 29,29 juta kiloliter.

Pembatasan kuota BBM bersubsidi mengingatkan kita pada heboh yang kurang lebih sama ketika neraca pembayaran kita mengalami defisit. Ketekoran suplai BBM kita sebenarnya bisa diatasi antara lain dengan mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Darmawan Prasodjo, ekonom energi lulusan Amerika Serikat, dalam suatu paparan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral beberapa waktu lalu membahas bagaimana bagaimana sebaiknya kebijakan EBT kita.

Darmawan saat itu menceritakan dubes Indonesia yang cukup heran melihat kebijakan BBM di Brasil. Di Negeri Samba itu, bioetanol untuk transportasi dijual murah, sedangkan BBM asal fosil lebih mahal. Pemerintah di sana memberikan subsidi untuk pengembangan industri bioetanol dalam negeri, sedangkan BBM fosil tanpa subsidi.

Pun di Amerika Serikat, kata kader PDI-Perjuangan itu, pemerintah lebih memilih memproduksi biodiesel dari minyak kedelai ketimbang minyak sawit. Minyak kedelai lebih dipilih meskipun produksinya jauh lebih rendah sehingga harganya lebih mahal, ketimbang minyak sawit yang impor di antaranya dari Indonesia. Alasannya adalah keberpihakan pemerintah terhadap kelangsungan hidup petani kedelai lokal dan menjamin kelangsungan industri dalam negeri.

Kondisi itu berkebalikan dengan Indonesia. Kekurangan BBM kita didatangkan dari impor yang harganya mahal, sekitar Rp11 ribu/liter, lalu dijual ke rakyat lebih murah, Rp5.500/liter. Jadi, menurut istilah Darmawan, kita memberikan “sedekah” kepada negara penghasil minyak bumi Rp5.500/liter. Impor BBM kita sekitar 500 ribu kiloliter/hari. Sedekah yang amat berlimpah tentunya.

Ia mengusulkan, dan kita pun sependapat, “sedekah” itu lebih baik dialokasikan untuk petani bahan baku EBT dan industri EBT di dalam negeri guna memproduksi EBT. Diharapkan, industri EBT bisa berkelanjutan dan petani pun lebih sejahtera. Bahan baku EBT yang cukup prospektif adalah minyak sawit. Memang harganya masih terbilang mahal dibandingkan minyak fosil.

Belajar dari Brasil, di sana ada seperti Bulog yang mengatur pembelian EBT dari rakyat. Cash and carry, yang penting kuantitas dan kualitasnya bagus. Bulog ini mendukung kesinambungan dan kekuatan industri EBT dalam negeri. Harga EBT juga dijaga agar jangan sampai jatuh karena kalau jatuh, industrinya bakal mati. Industri ini jelas bisa mendatangkan efek berganda berupa penciptaan lapangan kerja, memerangi kemiskinan, dan lain-lain. Seluruh operasi ini ikut menjaga kesinambungan dari kualitas EBT. Jadi, di sini operasional bukan satu tujuan tetapi multidimensi. Tak semata untuk profit, tapi juga melibatkan banyak unsur subsidi. Di sinilah perlunya pengembangan teknologi agar biaya produksinya lebih ekonomis.

Kita semua tentu berharap, masalah berat dan menahun ini bisa diatasi secara bertahap oleh pemerintah baru kelak. Agar berhasil, dukungan menyeluruh bangsa ini sangat diperlukan.

Peni Sari Palupi

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain