Senin, 4 Agustus 2014

Presiden Baru, Harapan Baru

Hiruk-pikuk pemilihan presiden terheboh di Indonesia telah berakhir. Pada 22 Juli 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode 2014 - 2019. Walaupun masih ada proses di Mahkamah Konstitusi, kita berharap presiden baru kita beserta kabinet profesional yang dijanjikannya mulai bekerja sejak pelantikan 20 Oktober mendatang.

Bila tidak ada halangan lagi, Joko Widodo memimpin Indonesia membangun, termasuk dalam bidang agribisnis yang menjadi salah satu andalan ekonomi kita. Pidato kemenangannya di atas kapal pinisi di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara,  bisa dimaknai sebagai pandangan khusus terhadap sektor kemaritiman dan kelautan. Memang, itu selaras dengan sumberdaya alam Tanah Air kita. Wilayah kita didominasi laut hingga 70%. Tak salah pula bila Bungaran Saragih, pakar agribisnis dan Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan era Presiden Megawati Soekarnoputri mengatakan, masa depan kita ada di laut. Laut bisa menjadi wahana untuk memproduksi daging (chicken of the sea) melalui budidaya laut atau marikultura. Laut pun bisa menyediakan energi terbarukan yang luar biasa dengan menggalakkan budidaya alga.

Dalam paparannya sewaktu menjadi pembicara seminar Agribusiness Outlook 2014 yang digelar AGRINA November tahun lalu, Rokhmin mengatakan, “Perikanan makin lama makin promising. Februari saya diundang ke Beijing, ada tren di China tanaman pangan sudah mulai didomestikasi atau ditanam di perairan pesisir. Seluruh provinsi di China sekarang diwajibkan oleh pemerintah untuk mendirikan ocean university. Di bawah itu ada Faculty of Agriculture. Kalau melihat geografi China terbalik dari Indoensia. Indonesia 75% berupa laut, China 75% berupa darat tetapi ada gerakan dari pemerintah untuk mendirikan ocean university. Why? Ini karena ketergantungan pada terrestrial resources, nggak mungkin kita mencukupi produksi pangan, energi, serat. Saya khawatir bangsa Indonesia selalu menjadi pemadam kebakaran, tidak menjadi trendsetter, nanti China lima tahun lagi sudah punya spesies yang sudah dibudidayakan di laut, kita impor lagi.”

Lebih jauh Rokhmin ingin mendorong akuakultur jangan hanya untuk pangan, tetapi juga untuk farmasi. Tahun lalu ada produk baru dari Korea Selatan. Rumput laut digiling menjadi tepung, lalu dicampur dengan magnesium. Sekarang Negara Ginseng itu ekspor produk tersebut ke pabrik pesawat Airbus sebagai campuran bodi pesawat terbang yang terkuat di dunia. “Nah, saya mau bangsa Indonesia memanfaatkan produk dari Tuhan itu terutama dari perairan jangan, hanya terbatas food, tapi juga produk lain. Aplikasi bioteknologi untuk manfaatkan produk akuakultur adalah suatu keharusan,” imbuhnya.

Bagian dari agribisnis lain yang sangat penting juga adalah tanaman pangan. Produksi pangan selalu berkejaran dengan kebutuhan nasional seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Selama ini lahan tanaman pangan cenderung menciut atau terkonversi untuk perumahan, industri, juga pemanfaatan lain. Sementara laju pencetakan lahan pertanian teramat sedikit, tak mampu mengimbangi kehilangannya akibat konversi. Walhasil, rata-rata kepemilikan lahan hanya 0,3 ha per kepala keluarga petani sehingga menyulitkan aplikasi teknologi peningkatan produksi. Dan sampai kapan pun kita sulit berharap produksi akan mampu mencukupi kebutuhan dan petani sang produsen pangan akan sejahtera.

Tentang lahan, pasangan presiden terpilih ini saat berkampanye menawarkan peningkatan akses dan kepemilikan lahan petani melalui program kepemilikan lahan untuk petani dan buruh tani seluas 9 juta hektar melalui redistribusi aset. Melalui program ini, akses petani gurem terhadap lahan akan meningkat dari rata-rata 0,3 ha per kepala keluarga menjadi 2 ha per kepala keluarga. Mereka juga akan membuka lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali seluas 1 juta hektar. Pembangunan kedaulatan pangan akan berbasis agribisnis kerakyatan. Caranya melalui pengendalian impor, penanggulangan kemiskinan petani, pembangunan sarana irigasi dan bendungan, mereka misalnya perbaikan jaringan irigasi rusak yang melayani 3 juta ha lahan dan 25 bendungan sampai 2019. 

Kita juga bisa berharap dari presiden yang lulusan Sarjana Kehutanan UGM tersebut dengan menterinya nanti mampu menjawab permasalahan lahan. Termasuk di dalamnya mampu berdiplomasi dengan negara-negara konsumen minyak sawit dan lembaga swadaya masyarakat lingkungan yang selama ini selalu mencari-cari kesalahan Indonesia dalam mengelola hutannya. Isu deforestasilah, isu emisi karbonlah dilempar untuk mengganjal bisnis sawit kita. Pemerintah kita nanti harus mampu membuktikan tudingan mereka salah secara ilmiah dan membuktikan pula bahwa cara produksi sawit kita memenuhi kaidah berkelanjutan.

Infrastruktur yang menjadi pekerjaan rumah besar menyangkut perekonomian secara luas juga dijanjikan akan diperbaiki. Hasil pembangunan infrastruktur kita sampai saat ini masih belum memenuhi harapan. Padahal hal ini sangat berpengaruh terhadap daya saing produk agribisnis pangan, hortikultura, peternakan, dan perikanan. Bila daya saing tetap lemah, kita akan tergilas pasar terbuka ASEAN tahun depan. Mari kita dukung pemerintahan baru kita sesuai bidanng kita masing-masing.

Peni Sari Palupi 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain