Senin, 16 Juni 2014

Berharap kepada Presiden Baru

Pemilu presiden masih sebulan lagi. Jelang hari H, 9 Juli mendatang, capres dan cawapres sibuk mensosialisasikan visi misi mereka kepada masyarakat. Pasangan capres dan cawapres nomor urut satu, Prabowo Subianto - M. Hatta Rajasa mengusung visi “Membangun Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil dan Makmur serta Bermartabat”. Mereka mengemban tiga misi yang dijabarkan dalam “Agenda dan Program Nyata untuk Menyelamatkan Indonesia”.

Sementara pasangan capres dan cawapres nomor urut dua, Joko Widodo - M. Jusuf Kalla, menawarkan visi “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”. Visi ini ditempuh melalui tujuh misi yang selanjutnya dijabarkan dalam agenda 31 strategis.  Dari 31 agenda strategis ini, mereka memerasnya dalam sembilan agenda prioritas.

Kalangan pelaku agribisnis tentunya berharap sang pemenang nanti menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah yang menghalangi perkembangan sektor yang digeluti mayoritas masyarakat ini. Bicara pertanian, apapun komoditasnya akan berhubungan dengan ketersediaan lahan.

Pasangan Prabowo–Hatta menjanjikan pencetakan lahan baru 2 juta hektar untuk meningkatkan produksi pangan, seperti beras, kedelai, jagung, sagu, dan tebu. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, mereka akan mengalokasikan anggaran Rp1 miliar untuk tiap desa. Dana ini untuk pembangunan desa dan infrastruktur buat rakyat melalui program desa.

Tentang lahan, pasangan Jokowi-JK menawarkan meningkatkan akses dan kepemilikan lahan petani melalui program kepemilikan lahan untuk petani dan buruh tani seluas 9 juta hektar melalui redistribusi aset. Melalui program ini, akses petani gurem terhadap lahan akan meningkat dari rata-rata 0,3 ha/kepala keluarga menjadi 2 ha/kepala keluarga. Mereka juga akan membuka lahan pertanian kering di luar Jawa dan Bali seluas 1 juta hektar. Pembangunan kedaulatan pangan akan berbasis agribisnis kerakyatan. Caranya melalui pengendalian impor, penanggulangan kemiskinan petani, pembangunan sarana irigasi dan bendungan, mereka misalnya perbaikan jaringan irigasi rusak yang melayani 3 juta ha lahan dan 25 bendungan sampai 2019.  

Infrastruktur yang menjadi pekerjaan rumah besar menyangkut perekonomian secara luas juga dijanjikan akan diperbaiki. Sebenarnya pemerintahan sekarang pun dulu punya tekad untuk membangun infrastruktur. Bahkan menetapkan 2012 sebagai tahun infrastruktur. Namun sampai sekarang hasilnya belum optimal sehingga sangat berpengaruh terhadap daya saing produk agribisnis. Tidak hanya jalan raya tetapi juga sarana transportasi yang lebih efisien, pelabuhan, bandara, sarana perekonomian lainnya.

Satu contoh kecil dan agak klasik adalah ongkos angkut. Ini sangat menonjol dalam perdagangan produk-produk agribisnis. Jagung misalnya, ongkos angkutnya terbilang mahal, bisa Rp500/kg. Akibatnya, jagung dari berbagai daerah timur Indonesia yang menghasilkan dalam jumlah besar tak bisa mencapai daerah konsumsi di barat Indonesia dengan harga layak. Tak pelak ini menyebabkan petani dari daerah penghasil tidak menikmati hasil yang memadai gara-gara dipotong ongkos.

Demikian pula sapi potong. Tidak ada sarana yang efisien untuk mengangkut sapi dari sentra produksi di timur ke kawasan barat yang menjadi konsumen utama. Sejak beberapa tahun terakhir, paling tidak periode kedua pemerintahan saat ini, alat angkut khusus ternak belum terwujud. Kalau pun ada, jauh dari cukup. Pun angkutan darat, kereta ternak tak kunjung tersedia. Jauhnya jarak dan minimnya sarana jalan, pelabuhan, angkutan, berkontribusi terhadap gejolak harga produk agribisnis. Daging sapi misalnya, pernah mencapai rekor tertinggi konon di dunia, salah satunya gara-gara ongkos angkut ke Pulau Jawa, khususnya daerah Jabodetabek mahal. Padahal pemerintah mengklaim populasi sapi di Indonesia cukup. Kalau pun impor tidak sebanyak yang terealisasi. Para penggemuk sapi butuh bakalan yang banyak, tetapi lokasinya sangat tersebar. Sementara para peternak rakyat, tak mampu menggemukkan banyak sapi lantaran modal cekak.

Masih juga soal ongkos angkut udara yang banyak berkait dengan produk hortikultura. Daya saing produk hortikultura seperti buah tropis, sayuran, dan florikultura relatif lemah dibandingkan para tetangga kita seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, dan tentu saja Tiongkok. Sebut saja pasar Singapura dan Jepang, kita sulit bersaing di sana karena kargo kita mahal dan tidak tersedianya sarana angkut yang kontinu dan efisien. Itu sebabnya peluang komoditas buah dan sayuran kita di pasar Singapura direbut Vietnam dan Malaysia.

Masih banyak masalah dalam agribisnis kita yang sangat memerlukan solusi dan fasilitasi dari pemerintah. Masih banyak yang dijanjikan dua pasang calon pemimpin nasional tersebut. Dan masih cukup waktu pula bagi kita untuk mencermati program-program pasangan capres-cawapres mana yang menjanjikan solusi bagi kemajuan agribisnis kita khususnya dan kemakmuran Indonesia pada umumnya. Dan tentu saja program yang masuk akal untuk direalisasikan, bukan sekadar janji manis yang sulit diwujudkan.

Peni Sari Palupi


 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain