Kebutuhan susu nasional terus naik lantaran pertumbuhan populasi dan makin membaiknya kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi, khususnya protein hewani. Apalagi memang konsumsi susu per kapita masyarakat kita masih terbilang rendah, sekitar 11 liter setahun. Dengan pertumbuhan ekonomi yang positif, bisa dipastikan permintaan terhadap produk susu akan ikut naik.
Para pelaku industri melihat ini tentu saja peluang emas yang sayang dilewatkan. Lihat saja Ultra Jaya, industri sapi perah terintegrasi berbasis di Bandung, Jawa Barat, sudah ancang-ancang dengan membangun peternakan baru di daerah Berastagi, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Mereka menargetkan Desember 2015, produksi susu segar akan segera mengalir dari sapi laktasi yang jumlahnya 10 ribu ekor lebih. Jeremy Hockin, sang manajer peternakan Ultra, menaksir, Indonesia perlu satu juta sapi perah lagi untuk mampu melayani kebutuhan sendiri. Pun kelompok usaha Great Giant Livestock dikabarkan akan membangun company farm di Lampung dengan teknologi yang sanggup mengakali kondisi agroklimat kurang ramah bagi pertumbuhan sapi perah.
Sungguh teramat sayang bila peluang yang sedemikian besar tak bisa digarap para peternak di dalam negeri. Mereka hanya bisa menonton pasarnya diambil manfaatnya oleh industri susu yang terpaksa mengimpor bahan baku susu bubuk dari luar negeri. Bahkan yang lebih parah lagi, ketika pasar bebas ASEAN dibuka pada 2015, pelaku-pelaku dari negara tetanggalah yang aktif meraup laba. Kita benar-benar gigit jari.
Situasi populasi sapi perah di Indonesia dalam lima tahun terakhir tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Bahkan dalam dua tahun terakhir, banyak peternak menjual sapi perahnya sebagai sapi potong. Penyebabnya, harga susu segar tak kunjung meningkat, sementara harga pakan makin mencekik.
Di sisi lain, harga daging sapi sangat menggiurkan, bahkan dipercaya termahal di dunia, karena pernah mencapai Rp140 ribu/kg. Sampai sekarang pun harga referensi yang pernah ditetapkan pemerintah Rp76 ribu/kg tidak tercapai. Harga cenderung kuat, sekitar Rp85 ribu/kg. Seorang profesional budidaya sapi perah di Bandung, memperkirakan, Indonesia kehilangan 40% dari populasi sapi laktasi dalam dua tahun terakhir. Jadi, dalam hitungan dia, kontribusi produksi susu lokal terhadap pemenuhan kebutuhan susu nasional tinggal 10%, bukan 20%-30% seperti anggapan umum.
Untuk memperbaiki performa industri sapi perah dalam negeri tidak mudah. Ada semacam lingkaran setan yang mesti diurai. Kita mulai lihat dari sapi. Sebenarnya soal kualitas genetik sapi tak jauh beda antara sapi milik perusahaan dengan milik peternakan. Sumbernya toh sama, rata-rata dari Australia. Dari sana pun bukanlah kualitas terbaik yang boleh dilepas ke negara lain. Jadi, permasalahan utama ya pemeliharaan.
Semangat peternak sangat dipengaruhi harga jual susu. Bila harga menguntungkan, peternak mau memberi pakan yang berkualitas. Sebaliknya kalau harga pas-pasan saja dengan ongkos produksi, mereka enggan memanjakan sapi dengan pakan yang mengandung bergizi baik. Bagi peternak yang mampu menciptakan nilai tambah susu, berapa pun harga jual susu tak menjadi masalah.
Harga jual susu segar memang diakui banyak peternak tak mampu mengikuti laju harga pakan. Jadi margin yang dikantongi peternak tipis. Karena itu dibutuhkan kelembagaan peternak yang mampu mengorganisir aktivitas mereka agar lebih efisien. Kandang koloni menjadi salah satu jalan keluar yang baik untuk dimasyarakatkan. Dengan berkelompok, peternak terpacu buat menaikkan kelas ketrampilannya agar sejajar koleganya. Pun dalam hal biaya perawatan bisa lebih irit karena dapat ditanggung bersama, misalnya saat inseminasi buatan atau pemeriksaan oleh dokter hewan. Lihat saja koloni ala Gabungan Kelompok Ternak Sugih Mukti Mandiri di Kasomalang, Subang, Jawa Barat. Taryat Ali Nursidik mengaku tetap bisa untung walau harga susu masih rendah.
Jalan lainnya, koperasi penampung susu peternak harus bersikap transparan dan adil dalam menghargai susu peternak. Koperasi harus memulai memisahkan kualitas susu yang dihasilkan anggotanya. Yang berkualitas baik, mendapat insentif harga yang memadai. Sebaliknya yang berkualitas buruk, “dihukum” dengan harga yang lebih rendah. Kalau jauh di bawah standar minimal, koperasi harus “tega” menolaknya. Namun tentu saja koperasi sebagai tumpuan ekonomi peternak tak layak hanya berdiam diri saja melihat kualitas susu anggotanya rendah. Koperasi harus bersedia membina dan menyemangati para peternak supaya mereka dapat meningkatkan ketrampilan memelihara sapi secara keseluruhan. Baik tentang pengetahuan pakan yang baik, perawatan, maupun membuntingkan si sapi. Hasil akhirnya, produktivitas sapi perah rakyat membaik sehingga pendapatan pun lebih baik lagi.
Dengan semangat Hari Susu yang jatuh pada 1 Juni, mari perbanyak konsumsi susu. Dua tujuan sekaligus direngkuh, meningkatkan asupan gizi bagi tubuh sekaligus menciptakan pasar bagi peternak lokal.
Peni Sari Palupi