Minggu, 11 Mei 2014

Cukupkah Harga Referensi?

Harga-harga komoditas pertanian umumnya berfluktuasi. Ada yang fluktuasinya tidak terlalu sigifikan, ada pula yang liar bak wahana Hysteria atau pun Kora-kora di Dufan, Ancol, Jakarta. Tidak mudah mengendalikan fluktuasi harga itu karena berbagai soal. Bisa jadi bermula dari data yang kurang akurat.

Mari kita lihat ayam ras. Pelaku usaha ayam ras sudah paham betul bahwa bisnis yang digelutinya memang ibarat judi. Apalagi bagi yang bekerja sendiri alias mandiri. Bila sedang untung, ia meraup laba tak terkira. Sebaliknya kala buntung, ruginya pun tak kalah besar. Peternak yang mau aman akhirnya bergabung dengan kemitraan, baik menggandeng industri sarana produksi ternak maupun sesama peternak tetapi berskala lebih besar. Mereka berbagi risiko. Ikhlas tidak menangguk untung sangat besar kala harga pasar sangat kuat, tetapi tak perlu meringis menderita kerugian ketika harga pasar melemah karena intilah yang menanggung kerugian.

Dalam tujuh bulan terakhir, pasar ayam hidup melemah terus sehingga harga jula nyaris selalu di bawah harga pokok produksi (HPP). Peternak mandiri maupun inti kemitraan menderita kerugian teramat besar. Terlalu lama mengalami kondisi itu, mereka pun berteriak minta pemerintah turun tangan. Walhasil, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan berbekal Undang-undang No.7/2014 tentang Perdagangan tanggal 11 Maret 2014, menurunkan surat edaran 15 April 2015 yang isinya minta pengusaha pembibitan ayam mematok harga jual anak ayam maksimal Rp3.200/ekor. Padahal perhitungan kalangan pengusaha pembibitan, HPP mencapai Rp4.250. Pahit memang, tetapi mereka berusaha mematuhi aturan itu. Tak hanya dipatok harga jualnya, produksinya pun diminta dipotong 15%.

Minggu lalu ternyata patokan harga sudah mulai “terlanggar”. Harga anak ayam sudah Rp4.000-an. Namun yang menggembirakan, harga ayam hidup mulai menggeliat. Ini tentu saja cukup menghibur buat peternak. Terlepas dari berapa lama senyum peternak dan juga senyum pengusaha pembibitan itu akan bertahan, kejadian ini menjadi yang pertama bahwa industri perunggasan yang sangat modern tak mampu keluar dari permasalahannya. Di satu sisi tokoh-tokoh perunggasan pun berharap campur tangan pemerintah tak berhenti sampai pada harga DOC tetapi juga sampai ke ayam hidup. Di sisi lain, mereka juga menginginkan intervensi pemerintah tidak mengacaukan bisnis mereka.

Jauh sebelum lahirnya UU Perdagangan, Kementerian Perdagangan meluncurkan harga referensi untuk daging sapi sebesar Rp76 ribu/kg. Langkah yang cukup merugikan bagi kalangan industri penggemukan sapi dan peternak sapi. Kala itu konsumen yang menjerit lantaran harga jual daging sangat mahal, sampai di atas Rp100 ribu/kg. Memenuhi keinginan konsumen, pemerintah juga mematok harga di bawah HPP. Peternak di Lampung pun menyuarakan harga yang wajar Rp90 ribuan/kg. Para pelaku mengatakan, itu karena basis data pemerintah lagi-lagi tidak akurat. Mereka yakin hal tersebut lantaran jauh berkurangnya populasi sapi lokal, sementara pasokan sapi bakalan impor seret. Bahkan impor bibit pun tak kalah sulit. Akhirnya memang Kemendag membuka pintu impor bakalan, bibit, dan yang tidak dinyana ada tambahan, sapi siap potong.

Importasi bakalan dan bibit memang sangat dikehendaki para penggemuk sapi mengingat suplai dari ternak lokal tidak mencukupi. Namun ikutannya itu cukup disesalkan paling tidak oleh peneliti, kenapa mesti masuk juga yang siap potong?

Hari-hari ini giliran harga cabai merah dan bawang merah yang melandai karena banyak panen. Harga cabai merah besar di Jember misalnya, minggu lalu dilaporkan mencapai Rp5.000/kg. Malah di Garut, Jawa Barat, anjlok tinggal Rp3.500/kg. Padahal menurut salah satu pelaku kemitraan dengan industri besar, biaya produksi Rp6.000-Rp7.000/kg. Ia sendiri tetap tenang karena mendapat harga stabil Rp12.500/kg. Saat ini masih berlaku harga referensi Kemendag Rp26.300/kg yang diketok per 3 Oktober 2013. Bila harga mencapai di atas itu, pemerintah akan membuka pintu impor untuk menjinakkan harga.

Sebetulnya ada yang kurang adil di sini. Pas harga sangat baik buat produsen, karena konsumen berteriak, pemerintah memasukkan produk impor. Sebaliknya tatkala produsen cabai menangis lantaran harga sangat landai, pemerintah masih kurang berbuat. Di luar sana, misal Amerika Serikat, pemerintahan Presiden Obama pernah mengangkat harga daging ayam dengan membeli produk dari industri. Saat itu pasar ekspor negara adidaya tersebut sedang banyak kena halangan sehingga pangsa mereka turun, Stok di dalam negeri melimpah. Padahal di negara produsen unggas nomor dua terbesar ini tak ada lagi pasar ayam hidup. Bisa jadi semuanya sudah diproses di rumah potong menjadi produk yang lebih panjang masa simpannya. Toh, industri tak kuat akhirnya minta pemerintah menampung produksi dan menyalurkannya ke Bank Pangan untuk masyarakat tak berpunya yang memang dijamin kehidupannya. Bisakah Indonesia bikin Bank Pangan atau “Bulog” yang bukan hanya urus padi, jagung, dan kedelai agar produsen tak megap-megap sendiri tatkala sedang banjir barang?

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain