Senin, 28 April 2014

Saatnya Berpromosi Secara Masif

Bisnis perunggasan yang memproduksi ayam pedaging (broiler) dan telur ayam ras tengah mengalami masa suram selama sekitar tujuh bulan terakhir. Pelaku bisnis sejatinya cukup tahu risiko bermain di sini. Mereka amat mafhum dengan kelakuan harga yang naik-turun secara liar. Jadi, bisa untung besar, bisa pula buntung besar. Namun peternak dan inti kemitraan kini tak kuat lagi menahan pola bermain seperti itu. Apa pasal? Harga hasil panen, yaitu ayam hidup dan telur, tak kunjung beranjak mendekati harga pokok produksi. Sementara harga bibit umur sehari (day-old chick/DOC final stock) bertahan tinggi.

Ketekoran mereka ini tak seperti tahun-tahun sebelumnya karena berlangsung terlalu lama sehingga pasar lebih tidak terprediksi. Masih “untung” peternak yang menjadi mitra atau plasma dari perusahaan inti. Mereka bisa dibilang tak rugi. Sebaliknya inti harus menanggung tekor hingga miliaran rupiah. Pun peternak mandiri tak luput dari kerugian yang besar.  

Setelah bertemu pelaku usaha, pemerintah menyimpulkan, harga ayam hidup dan telur di tingkat peternak di bawah harga pokok produksi sehingga peternak tidak memperoleh pendapatan yang wajar. Selain itu, tingginya produksi DOC final stock mengakibatkan kelebihan pasokan ayam broiler dan telur.

Tambahan lagi, menurut pelaku usaha, konsumen juga belum siap menyambut peningkatan produksi. Bisa karena daya beli masih lemah, bisa pula lantaran distribusi produk tidak merata di Tanah Air, masih terkonsentrasi di kota-kota besar di sejumlah pulau utama.

Pemerintah pun turun tangan. Kali ini benar-benar turun tangan tak seperti bertahun-tahun sebelumnya yang cenderung membiarkan industri unggas tumbuh dan berkembang sendiri. Langkah pemerintah ini juga karena sudah ada payung hukum, yaitu Undang-undang Perdagangan No.7/2014 yang meluncur sejak 11 Maret 2014. UU ini memberi wewenang pemerintah untuk menjamin pasokan dan stabilisasi harga barang kebutuhan pokok dan barang penting melalui kebijakan penetapan harga, pengelolaan stok dan logistik serta pengelolaan ekspor dan impor.

Pada 15 April lalu, menteri perdagangan menerbitkan surat edaran untuk mengatur harga dan pasokan DOC dengan tujuan tetap menjaga ketersediaan pasokan dan tidak terjadi lonjakan harga eceran di tingkat konsumen saat hari besar keagamaan nasional. Mendag menetapkan harga maksimal DOC sebesar Rp3.200/ekor dan minta pengusaha pembibitan unggas mengurangi produksi telur tetas broiler dan layer (petelur) sebanyak 15%. Selain itu, untuk menjamin kebutuhan DOC bagi peternak mandiri dan kepentingan perusahaan dengan proporsi 70% dan 30%. Pada tahap awal ketentuan ini berlaku satu bulan dan setiap minggu akan dievaluasi.

Intervensi pemerintah ini cukup mengguncang perusahaan pembibitan karena harga pokok produksi DOC sekarang Rp4.250/ekor. Meski di sana-sini terdengar keheranan dan keberatan dari para pelaku usaha mengenai harga maksimal itu, toh mereka berupaya menerimanya dengan semangat perbaikan kondisi jangka pendek. Ibaratnya pil pahit yang harus ditelan untuk penyembuhan. Mereka berharap ada solusi jangka panjang dan bersifat preventif.

Sayangnya, di lapangan masih terdapat pelaku yang bandel, tidak mau melakukan pengurangan produksi DOC. Di sinilah mereka menuntut keadilan kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan untuk memberikan sanksi. Mereka pun berharap pengendalian harga ini tak lebih dari sebulan karena juga berimbas bangkrutnya perusahaan pembibitan kecil dan yang tidak memiliki usaha lain. Di sisi lain, peternak pun akan kesulitan mendapatkan pasokan DOC karena cukup sulit mengontrol proporsi 70% dan 30% di lapangan.

Bila ditarik keluar lebih jauh, permasalahan harga ayam hidup dan telur yang tak kunjung naik juga terkait dengan konsumsi masyarakat. Pemerintah ingin meningkatkan konsumsi perkapita dua kali lipat dari 7 kg/kapita 2012 menjadi 14 kg/kapita pada 2017. Sementara konsumsi telur dari 86 butir/kapita menjadi 180 butir pada tahun yang sama. Tahun ini, menurut perhitungan Chandra Gunawan, Sekjen Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), konsumsi daging ayam semestinya mencapai sekitar 12 kg/kapita/tahun. Apakah akan tercapai? Inilah yang perlu juga dibantu pemerintah. Pemerintah bersama pelaku usaha selayaknya berupaya melakukan promosi yang masif agar konsumsi perkapita bisa didongkrak. Tentu harus dibarengi pula dengan perbaikan sarana prasarana agar distribusi produk perunggasan lebih merata sampai merambah daerah-daerah yang konsumsinya masih rendah.

Promosi masif itulah yang belum dilakukan hingga sekarang. Ada persoalan dana dan kepercayaan di sana. Pelaku usaha menginginkan tidak ada penumpang gelap (free rider) yang mau enaknya saja menikmati hasil promosi tanpa mengucurkan dana promosi. Gagasan mengumpulkan dana jimpitan (checkoff) dari DOC dan pakan yang berlaku dan sukses di negara lain untuk promosi besar-besaran bisa dipertimbang dengan menerbitkan payung hukumnya. Pemerintah bisa masuk bui kalau memungut dana dari masyarakat secara ilegal meskipun untuk kepentingan yang baik, yaitu meningkatkan konsumsi produk unggas.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain