Sabtu, 12 April 2014

Menanti Surplus Beras Sepuluh Juta Ton

Tahun ini penduduk Indonesia diperkirakan akan mencapai 252,03 juta jiwa. Mulut sebanyak ini diproyeksikan membutuhkan beras sebanyak 34 juta ton lebih sedikit. Karena itu pada 2014, Kementerian Pertanian mencanang produksi padi tumbuh 8,04% dari 70,87 juta ton menjadi 76,57 juta ton. Inilah tahun pertaruhan bagi Kementerian yang digawangi Suswono untuk mewujudkan Rencana Aksi Bukit Tinggi 2014 hasil arahan Presiden SBY. SBY juga meminta Kementan mencapai surplus produksi beras sebanyak 10 juta ton.   

Dalam acara refleksi 2013, Mentan Suswono menyebutkan sejumlah kegiatan untuk meraih target berat tersebut. Sebut saja, Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) untuk areal seluas 4,6 juta ha, System of Rice Intensification (SRI) seluas 180 ribu ha, optimasi lahan seluas 166,3 ribu ha, Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) seluas 1,1 juta ha, serta pembinaan dan pendampinqan pertanaman padi swadaya petani seluas 6,4 juta ha.

Dari sisi infrastruktur, pemerintah berencana memperluas areal tanam padi melalui pencetakan sawah baru seluas 40 ribu ha dan pengembangan jaringan irigasi seluas 500 ribu ha. Target pencetakan sawah baru ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan mengingat Pak Menteri sering mengingatkan laju alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian mencapai sekitar 100 ribu ha/tahun. Berarti kalau pun sawah itu tercetak, luasannya tak mampu mengejar kecepatan alih fungsi.

Memang, lima tahun lalu sudah meluncur Undang-Undang No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sejumlah daerah sudah mengikuti dengan menurunkan peraturan daerah dengan tujuan yang sama. Namun bagaimana penegakan hukumnya? Bila sawahnya tak terjaga dari alih fungsi, pengembangan jaringan irigasi tentu tak bisa juga dilaksanakan. 

Wakil Menteri Pekerjaan Umum Achmad Hermanto Dardak pada acara Jakarta Food Security Summit 2012 pernah menampilkan peran irigasi dalam pencapaian produksi padi nasional. Data yang disuguhkan memang tak baru-baru amat, yaitu 2009 - 2010. Yang jelas, ia menyebut, sekitar 84% produksi padi dihasilkan di lahan beririgasi alias sawah. Jadi, peran jaringan irigasi sangat penting. Infrastruktur seperti ini semestinya mendapat alokasi dana yang lebih besar. Betapa pun kita tak bisa mengandalkan masyarakat untuk memperbaiki sendiri jaringan irigasi yang rusak di lokasi mereka.

Selain wahana berproduksi dan jaringan irigasinya yang perlu dijaga dan dibangun, sarana lain menyusul di belakangnya menuntut perhatian. Pasokan pupuk bersubsidi juga masih tetap diandalkan untuk mencapai target.  Hal itu tercermin dalam data dari Direktorat Pupuk dan Pestisida, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan, selama 10 tahun terakhir. Semakin besar alokasi subsidi pupuk, semakin tinggi pula produktivitas padi per hektar. Padahal tahun ini anggaran pupuk bersubsidi meningkat tetapi karena harga bahan baku gas untuk memproduksi pupuk naik, maka volume pupuk yang disalurkan anjlok 1 juta ton. Direktur Pupuk dan Pestisida sudah melaporkan, jatah pupuk bersubsidi hanya cukup sampai Oktober 2013. Dan itu musim tanam rendengan mulai masuk. Rasanya perlu dipikirkan jalan keluarnya bila ingin mengamankan pasokan bahan pangan pokok bagi masyarakat itu.

Jalan keluarnya tak selalu berupa tambahan anggaran tetapi juga dorongan yang masif kepada petani untuk menggunakan pupuk organik di seputar lahan pertanian. Di samping itu petani juga perlu diberi penyuluhan guna mengefisienkan pemakaian pupuk, tidak jor-joran. Secara teknis, para ahli menganjurkan langkah-langkah pembenahan tanah terlebih dahulu agar pupuk bisa terserap maksimal oleh akar. Selain itu, pengamanan penyaluran pupuk murah perlu ditingkatkan agar pupuk jatah petani itu tidak diselewengkan oleh tangan-tangan nakal ke penggunaan lain.

Bila masih sulit juga mencapai surplus beras, ada baiknya dilakukan kampanye diversifikasi pangan ke nonberas terutama untuk masyarakat yang mampu menjangkau jenis pangan lain. Jadi, tekanan permintaan terhadap beras bisa dilonggarkan. Ada cara sederhana di kalangan masyarakat Minang untuk menekan konsumsi beras, yaitu dengan makan pisang sebelum makan nasi. Karena telah terisi, praktis jatah nasi yang ingin dikonsumsi pasti berkurang. Ada pula meniru kebiasaan Nabi Muhammad yang mengonsumsi buah sebelum makan. Pada era modern ini, kebiasaan itu malah diadopsi masyarakat barat. Masyarakat kita sendiri mengurangi makan nasi bila “terpaksa” lantaran penyakit menderita degeneratif seperti diabetes mellitus. Sebenarnya orang-orang yang masih sehat ada baiknya juga mengurangi konsumsi pangan sumber gula ini agar tak telanjur terkena diabetes yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

Kembali ke soal pemenuhan target surplus 10 juta ton beras, tampaknya cukup berat. Bila tak tercapai, itu akan menjadi target warisan bagi pemerintahan baru hasil pemilu tahun ini. Bila begitu adanya, presiden baru beserta kabinetnya yang dilantik Oktober 2014 sebaiknya bersiap dengan solusi agar persoalan perut ini tak kestabilan politik dan ekonomi nasional.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain