Sejak 2004 Indonesia sudah menjadi negara net importer Bahan Bakar Minyak (BBM). Mungkin banyak masyarakat yang tidak tahu atau tidak sadar. Setiap hari kita mengimpor BBM sekitar 900 barel dengan nilai US$150 juta. Artinya dalam satu tahun nilai impor BBM mencapai US$54 miliar. Dari nilai ini, sekitar US$35 miliar untuk mengimpor 37 juta kilo liter solar. Impor BBM inilah membuat neraca transaksi berjalan kita defisit dalam 10 tahun terakhir.
Cadangan minyak bumi kita akan habis 12 tahun lagi. Sementara kebutuhan BBM meningkat terus baik untuk pertumbuhan ekonomi maupun akibat pertambahan penduduk. Diperkirakan tahun 2020 saja kebutuhan BBM kita akan mencapai 1.6 juta barel per hari. Sementara produksi BBM domestik tahun itu hanya 0.39 juta barel per hari. Berarti defisit setidaknya 1.2 juta barel per hari. Dari mana menutup defisit BBM tersebut?
Solusi mengatasi defisit BBM itu tidak banyak pilihan bagi kita. Salah satu yang tersedia dan mungkin dilakukan adalah mensubsitusi solar dengan biodiesel (fatty acid methyl ester, FAME) berbahan baku minyak sawit (CPO). Indonesia saat ini produsen CPO terbesar dunia dengan produksi pada 2013 lalu sekitar 27 juta ton. Sekitar 22 juta ton di antaranya kita ekspor.
Tahun ini diperkirakan produksi CPO kita akan mencapai 30 juta ton dan tahun 2020 akan sampai pada angka 40 juta ton. Artinya, bahan baku biodiesel tidak ada masalah dan tidak mengganggu CPO untuk keperluan lain, termasuk untuk oleo pangan.
Teknologi biodiesel juga sudah dikuasai. Pabrik biodiesel di dalam negeri juga sudah berkembang. Data Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (Aprobi), kapasitas terpasang pada 2013 sudah mencapai 5,6 juta ton dan dengan mudah ditingkatkan kapasitas sesuai kebutuhan. Dari kapasitas tersebut produksi masih sekitar 30% dan itu pun sebagian besar diekspor. Ironis sekali, kita ekspor biodiesel sementara kita mengimpor solar jumlah besar.
Landasan kebijakan berupa peraturan perundang-undangan juga sudah lengkap. Mulai dari level undang-undang, peraturan pemerintah sampai peraturan menteri. Apa lagi yang kurang? Yang kurang hanya kepemimpinan yang visioner dan komitmen kuat untuk mengimplementasikannya.
Jika pemerintah berkomitmen kuat untuk menjalankan biodieselisasi, banyak manfaat yang bisa dinikmati indonesia. Menuju 2020, jika sekitar 20 juta ton CPO saja setiap tahun digunakan untuk produksi biodiesel, maka akan tersedia biodiesel setidaknya 18 juta kilo liter per tahun. Jumlah ini dapat mensubsitusi kebutuhan solar nonsubsidi dan sebagian solar subsidi. Jika itu saja terjadi, maka kita dapat menghemat devisa untuk impor solar sebesar US$18 miliar.
Bukan itu saja. Manfaat penggantian solar dengan biodiesel asal CPO di dalam negeri akan memperkuat posisi Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia karena pasar CPO kita tidak tergantung lagi hanya pada pasar dunia tapi tersedia alternatif pasar domestik yang besar. Kita bisa mengatur irama pasar CPO dan biodiesel global dengan mengatur berapa besar CPO dan biodiesel yang menguntungkan kita untuk diekspor atau digunakan dalam negeri.
Neraca emisi gas rumah kaca Indonesia juga makin baik dengan subsitusi solar menggunakan biodiesel. Berbagai studi menunjukkan, penggantian solar dengan biodiesel asal CPO dapat mengurangi 62% emisi gas rumah kaca dibandingkan solar
(memperbaiki lingkungan).
Hilirisasi CPO ke biodiesel di dalam negeri juga membuat ekonomi pedesaan sentra sawit makin menggeliat. Berkembangnya biodiesel akan menarik gerbong agribisnis sawit di berbagai daerah bekembang. Berbagai studi empris (Siregar, dkk, 2011, Oktaviani, dkk, 2011) membuktikan bahwa peningkatan produksi biodiesel asal sawit akan menaikkan produktivitas kebun sawit, meningkatkan pendapatan petani, mengurangi kemiskinan serta memacu pembangunan pedesaan. Studi Bank Dunia (2011) mengungkapkan bahwa perkebunan sawit di Indonesia sangat signifikan mengurangi kemiskinan pedesaan.
Jadi, pengembangan biodiesel berbahan baku sawit bermanfaaat ganda bagi Indonesia berupa ketahanan energi, ketahanan devisa,percepatan pembangunan pedesaan, penghapusan kemiskinan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Dengan manfaat pengembangan biodiesel yang begitu besar dan meluas bagi ekonomi kita, sudah saatnya pemerintah lebih sungguh-sungguh mengeksekusi hilirisasi CPO ke biodiesel. Pemerintah, produsen biodiesel, Pertamina, dan dibantu ahli-ahli yang kompeten duduk bersama untuk merumuskan implementasi kebijakan biodiesel yang berkelanjutan demi menyelamatkan masa depan energi dan ekonomi kita.
Marilah mengakhiri kecanduan impor solar. Dan jangan menunggu negara lain yang saat ini sedang serius mengembangkan biodiesel menguasai biodiesel global sehingga akhirnya suatu saat memaksa Indonesia berubah dari importir solar menjadi importir biodiesel yang bahan bakunya justru dari CPO kita sendiri.
Tungkot Sipayung