Tapal batas menuju kawasan yang lebih bebas di antara 10 negara anggota ASEAN itu segera tiba. Dalam hitungan 9 bulan ke depan, kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai berlaku. Apa maknanya? Satu, ada pasar tunggal dan berbasis produksi regional. Konsekuensinya, arus barang, jasa, dan investasi yang bebas. Termasuk pergerakan tenaga kerja lebih bebas. Pun arus permodalan juga lebih bebas. Dua, kawasan berpenduduk 600 juta jiwa ini juga menjadi ajang persaingan tingkat tinggi. Tiga, diharapkan di kawasan ini terjadi pembangunan ekonomi yang merata. Termasuk kesempatan untuk pengembangan Usaha Kecil Menengah. Di sini prakarsa bagi integrasi ASEAN dimulai. Empat, perekonomian kita makin terintegrasi dengan perekonomian dunia.
Di satu sisi, ukuran pasar bagi negara-negara ASEAN menjadi berlipat kali luasnya. Bila produk-produk kita berdaya saing tinggi dan kemampuan produksi kita besar, inilah surga yang kita tunggu-tunggu. Contoh nyata sudah dapat kita lihat pada China. Begitu Negeri Tirai Bambu itu bergabung dengan organisasi perdagangan dunia (WTO) pada 2001, membanjirlah produk-produk mereka menguasai dunia.
Di sisi lain, bila produk-produk domestik kita berdaya saing lemah alias tidak efisien, tunggulah “kematian” kita. Pasar kita akan dikuasai produk mencanegara. Sementara produsen lokal gelagapan mencari-cari cara untuk bertahan dari himpitan produk impor. Akhirnya kita cuma gigit jari, jadi penonton di pasar sendiri.
Di berbagai forum, kesiapan negara kita membuka pasar tanpa hambatan alias tarif nol persen, kecuali hambatan nontarif, ini banyak dipertanyakan. Perhatian kita tentu saja mengarah ke komoditas agribisnis, baik yang bermain di hulu, budidaya, maupun hilir. Baik pula dipilah mana yang masih jauh dari kuat daya saingnya, mana pula yang cukup kuat. Tentu masing-masing memerlukan penanganan yang berbeda.
Komoditas perkebunan, seperti sawit, kopi, kakao, dan lada, diyakini masih lumayan berdaya saing karena pesaing kita tidak banyak. Tandingan itu datang dari Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
Di kancah komoditas hortikultura, meskipun tidak boleh pasrah, hati kita ciut oleh produk yang hari-hari ini juga telah menguasai pasar dalam negeri hingga ke daerah pelosok-pelosok. Lihat saja buah-buahan subtropis yang memang tak bisa dikembangkan di negeri tropis ini. Baiklah kita tidak usah ngotot melawannya. Sebaliknya kita harus menyiapkan penyerbuan ke kawasan ASEAN dengan buah-buahan tropis unggulan secara komparatif maupun kompetitif. Usaha imbal dagang yang saling menguntungkan.
Untuk komoditas peternakan, khususnya unggas, para pelaku usaha sebaiknya meningkatkan efisiensi karena inilah kuncinya bila ingin bertahan. Pasar besar negeri kita pastilah menjadi target negara-negara eksportir. Tak usah yang jauh-jauh, Malaysia pun pasti ingin bermain di pasar yang sebelumnya sudah dimasuki oknum pelaku bisnisnya secara ilegal di wilayah-wilayah perbatasan. Kini pintu Indonesia terbuka asalkan produksi mereka efisien dan kehalalannya terjamin dengan standar yang sama.
Bahaya tetangga dekat itu sudah disadari betul oleh beberapa kalangan. Sebut saja Imdesmiarti, peternak petelur skala besar di Payakumbuh, Sumatera Barat. Untuk meningkatkan efisiensi, dia mau membenamkan uangnya yang cukup besar membangun kandang tertutup. Wanita peternak terkemuka ini sadar betul apa yang akan terjadi bila peternak seperti dia pasrah tidak berbuat apa-apa. Untuk meningkatkan pemahaman dan operasional kandang barunya, dia berkunjung ke Malaysia yang sudah lebih dulu melangkah ke era kandang tertutup.
Untuk komoditas ternak besar, seperti sapi, kita sebenarnya punya keunggulan dengan status bebas penyakit berbahaya, seperti sapi gila, penyakit mulut dan kuku, rinderpest. Sayangnya, kita belum mampu mengolah keunggulan kita ini menjadi senjata ampuh buat menang di pasar sendiri maupun pasar mancanegara. Produksi daging yang tidak mencukupi menggiurkan dan bisa memancing penyelundupan produk dari negara tak bebas penyakit. Jadi, petugas karantina kita harus makin awas mewaspadai pnyelundupan atau kita jadi tertular.
Di lingkup perikanan, pemerintah sedikit banyak cukup siap. Ditjen Perikanan Budidaya menyiapkan tujuh menyiasati Masyarakat Ekonomi ASEAN, yaitu meningkatkan kualitas produk, bersinergi dengan perguruan tinggi untuk menemukan teknologi baru yang lebih kompetitif, lagi-lagi bersinergi dengan Kementerian Pekerjaan Umum untuk perbaikan infrastruktur dan sarana, mendoorng investasi dan permodalan melalui perbankan, memperbaiki kualitas induk benih unggul, mendorong penerapan cara budidaya yang ramah lingkungan, dan melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit.
Kendati kita menyadari tidak mudah membendung produk perikanan seperti dori asal Vietnam yang memang kompetitif. Belakangan ini pemerintah melakukan pelarangan impor ikan yang di sini disebut patin itu dengan alasan kandungan air pada fillet yang berlebih sehingga pemain lokal lumayan leluasa. Alasan ini mungkin masih bisa untuk bertahan selama eksportir Vietnam tak mampu bikin yang seperti standar kita. Mari kita saling membangun sinergi agar kuat menghadang produk asing dan menyerbu pasar asing secara elegan serta legal.
Peni Sari palupi