Senin, 3 Maret 2014

Saatnya Berterimakasih dengan Petani

Bencana alam yang beruntun melanda negeri ini sejak September tahun lalu seharusnya membuka mata kita tentang peran penting petani. Di Kabupaten Karo, petani komoditas hortikultura terutama sayuran dan jeruk dilanda kerugian akibat meletusnya Gunung Sinabung. Berproses sangat lama, gunung tersebut sampai tulisan ini diturunkan masih juga belum berstatus aman.

Kita tentu membayangkan betapa sulitnya kehidupan para petani, baik sebagai kepala keluarga maupun pengusaha agribisnis. Aktivitasnya sehari-hari amat terganggu. Demikian pula aktivitas berbudidaya, tak lancar akibat erupsi yang memuntahkan material vulkanik ke lahan pertanaman mereka. Banyak pula yang tak dapat memanen hasil keringat mereka di lahan. Akibat lebih jauh yang dirasakan masyarakat umum tentu saja harga komoditas nan melambung. Situasi ini bisa jadi berkah buat petani di daerah lain. Namun bila pemerintah menambalnya dengan impor, petani luar negerilah yang menikmati harga tinggi.

Nun di Jawa Timur, erupsi Gunung Kelud juga merusak lahan petani. Di Malang misalnya, dampak sangat dirasakan para peternak sapi perah di Kecamatan Ngantang, yang sehari-hari mencari hijauan pakan untuk ternak mereka. Pemulihan lahan bisa ditanami kembali hijauan pakan ternak butuh waktu lumayan lama. Selama itu pula mereka juga harus menata kembali tempat tinggal yang banyak di antaranya rusak berat. 

Kerusakan itu tak hanya terjadi di lokasi dekat Kelud yang bererupsi selama tiga jam. Lokasi sejauh 600-an km di Tasikmalaya, Jawa Barat, pun terkena pengaruh dahsyatnya erupsi gunung teraktif di Jawa Timur itu. Petani cabai di kota tersebut terpaksa gigit jari tak bisa menikmati harga bagus yang biasa terjadi saat musim penghujan. Saat cabainya tak lama lagi panen, malang tak dapat ditolak, abu vulkanik merusaknya. Tak pelak seretnya pasokan cabai dari daerah terdampak bencana mendongkrak harga di pasaran. Bahkan, Abdul Hamid, Sekjen Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia, memperkirakan akan terjadi seret pasokan pada 3-4 bulan ke depan yang bertepatan dengan Ramadan.

Momen itu biasanya juga ditunggu para petani untuk mendulang rupiah. Sayang, kesempatan bagus itu bisa jadi terlewat begitu saja. Ini saatnya berterimakasih dengan petani, apapun komoditasnya. Wujudnya bisa saja bantuan yang bersifat kemanusiaan untuk memulihkan sarana hidup sehari-hari seperti tempat tinggal, fasilitas anak sekolah, infrastruktur. Ada yang lebih penting pula adalah bantuan produktif untuk pemulihan usaha mereka agar kembali mandiri.

Memang sudah banyak industri yang ikut terpanggil menyerahkan bantuan ke daerah bencana. Namun itu tidak cukup. Beban masyarakat amat berat. Pemerintah pun diharapkan lebih proaktif. Diharapkan pula bantuan-bantuan rehabilitasi yang dikucurkan benar-benar tepat sasaran. Di banyak tempat kejadian bencana, oknum tak lagi sungkan untuk menyalahgunakan dana miliaran rupiah demi kepentingan sendiri. Jangan sampai ini terjadi kembali.

Indonesia yang memang tergolong wilayah bencana semestinya menginternalisasikan ancaman itu dalam program-program kerjanya. Di wilayah acap kali banjir, para peneliti padi misalnya sudah berhasil merakit varietas tahan rendaman atau varietas khusus untuk ditanam di rawa. Namun ketika petani membutuhkannya, benih tidak tersedia. Sebenarnya ketersediaan benih bisa dijaga dengan mengaplikasikan teknologi penyimpanan yang tepat. Hasilnya, ketika petani membutuhkan benih untuk ditanam, benih yang cocok bisa tersedia tanpa mengalami penurunan daya perkecambahannya.

Menarik pemikiran Masyril Koto, penggagas bank petani dari Sumatera Barat. Menurut dia, bantuan yang paling pas adalah pemberdayaan. Bikin mereka berdaya. Bukan semata menjadikannya “pengemis” bantuan yang tidak pernah dikontrol seperti pada masa-masa belakangan. Dengan berdaya, mereka sejahtera. Butuh menyekolahkan anak, mereka mampu menyediakan biaya. Butuh pelayanan kesehatan, mereka mampu menjangkau yang lebih baik.

Masyril berpendapat, sudah terlalu banyak yang mengajari petani terkait ekonomi. Tapi tak banyak yang mengajari mereka untuk memperkuat kelembagaan. Kini banyak kelompok tani yang terbentuk secara instan untuk menerima bantuan pemerintah. Ujung-ujungnya bantuan yang semestinya untuk kegiatan produktif, habis tak jelas rimbanya. Padahal bila kelembagaannya mengakar kuat berbasis keinginan dari bawah, mereka bisa diajak kumpul-kumpul produktif. Mereka bisa diajak menabung untuk membiayai usaha sendiri tanpa bergantung bank komersial. Mereka diajak bertanggung jawab terhadap pinjaman modal atau pinjaman lain dari lembaga keuangan yang dibentuk di lingkungan mereka sendiri.

Ketika masih banyak petani bertahan di tenda pengungsian, ajak, ajari, dan fasilitasi  mereka untuk membangun kembali usaha. Pinjaman modal yang mungkin diberikan semestinyalah dikawal sebaik-baiknya. Ajari pula bagaimana mengelola pendapatan agar mereka mengalokasikan dana untuk keperluan masa depan anak-anak dan usahanya.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain