Pertengahan Januari lalu, berbagai media nasional dan internasional, juga situs LSM lingkungan serta situs hukum law360.com, memuat berita putusan hakim Rachmawati, SH di Pengadilan Negeri Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam, yang menghukum berat perusahaan sawit, PT Kallista Alam. Bu Hakim memutus denda senilai US$30 juta lebih atau setara Rp366 miliar dengan rincian pembayaran kerugian material kepada pemerintah sebesar Rp114 miliar lebih dan hampir Rp256 miliar untuk pemulihan lingkungan hidup.
Pasalnya, perusahaan ini menanam di lahan gambut Tripa (Kawasan Ekosistem Leuser) seluas 1.000 ha yang merupakan habitat orangutan, harimau, gajah, dan spesies terancam punah lainnya. Perusahaan yang memiliki izin membuka kebun seluas 1.605 ha pada 2011 di Desa Pulo Kruet, Kec. Darul Makmur, Kab. Nagan Raya itu terbukti pula membuka lahan gambut dengan cara membakar. Adalah Kementerian Lingkungan Hidup yang memejahijaukan perusahaan itu berdasarkan laporan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) tentang indikasi pembakaran di lahan perkebunan perusahaan itu atau setidak-tidaknya membiarkan terjadinya kebakaran, seluas 1.000 hektar pada April dan Juli 2012.
Putusan hakim tersebut tentu saja sangat berat bagi perusahaan manapun. Apalagi perusahaan ini bisa saja belum menikmati produksi minyak sawit karena umur tanaman paling tua baru tiga tahunan. Sementara produksi minyak baru dimulai rata-rata umur empat tahun.
Memang perusahaan itu dikabarkan mengajukan banding, tetapi pesan kasus ini cukup jelas, jangan sembarangan buka kebun sawit baru. Apalagi di lahan gambut yang terlarang, baik oleh pemerintah Indonesia melalui ketentuan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) maupun Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), untuk ditanami.
Dalam ketentuan RSPO misalnya, sudah ada rancangan final yang mengatur prosedur remediasi dan kompensasi bila ada kasus perusahaan membuka kebun sawit baru tanpa melakukan kajian tentang kawasan bernilai konservasi tinggi (NKT) terlebih dahulu. Pelakunya diancam harus membayar kompensasi US$2.500-US$3.000/hektar. Memang denda ini tidak disetor ke RSPO tetapi harus diwujudkan dalam bentuk program pemulihan dari NKT yang disulap jadi kebun sawit itu.
Rem pengembangan kebun sawit tidak hanya datang dari kalangan pembeli dan pesaing internasional, tapi juga dari pemerintah kita sendiri yang menginginkan produksi sawit memenuhi kaidah berkelanjutan. Pemerintah mewajibkan setiap perusahaan perkebunan sawit menjalani sertifikasi ISPO. Tahun ini semuanya harus mengantongi sertifikat ISPO. Menurut situs ISPO, sampai sekarang baru 40 perusahaan yang berhasil mendapatkan sertifikat tersebut. Masih banyak perusahaan yang belum dan sedang dalam proses sertifikasi. Data yang disampaikan Rismansyah, Staf Ahli Menteri Pertanian di Pekanbaru, Riau, pertengahan tahun lalu, jumlah perusahaan mencapai 1.212. Sebanyak 1.206 sudah tahap operasional dengan kelas kebun I-III. Jadi, sebanyak ini pula yang mesti mengejar tenggat 31 Desember 2014 untuk mendapatkan sertifikat ISPO. Sisanya dalam tahap pembangunan.
Sertifikasi ISPO bersifat wajib bagi perusahaan di Indonesia. Jadi, pilihannya taat atau tidak taat hukum. Kalau melanggar, ancamannya adalah pencabutan izin perusahaan tersebut. Sementara RSPO bersifat sukarela. Meski begitu, RSPO mengharuskan perusahaan anggotanya mematuhi aturan di negara masing-masing. Konsekuensi atas pelanggaran ketentuan anggota adalah dikeluarkan dari organisasi. Kelihatannya sepele, tapi bagi perusahaan citralah yang dipertimbangkan. Citra ini pula yang terkait dengan bisnisnya di ranah internasional. Kerugiannya bisa tak ternilai karena perusahaan akan jadi gigit jari tak mendapat pembeli akibat reputasi produknya yang tidak memenuhi kaidah berkelanjutan.
Di atas semua itu, ujung dari kewajiban memenuhi ISPO dan RSPO adalah berkelanjutannya produksi sawit dan terpeliharanya lingkungan di negeri tercinta ini. Kalau ini bisa terwujud, tentu saja devisa kita dari “emas cair” akan tetap kita dapatkan dari pasar internasional. Di hulunya perusahaan sawit beserta para petani plasma dan keluarganya ikut menikmati kemakmuran dari berkebun sawit. Pun daerah di mana perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi, pastilah ikut berkembang. Di samping itu, juga di dalam negeri, suplai bahan baku biodiesel yang diharapkan dari sawit pun bakal melimpah. Dengan demikian, upaya pemerintah menekan impor BBM, khususnya solar, melalui kewajiban pencampuran minyak sawit dan solar dapat menuai hasil positif. Impor BBM berkurang dan ketahanan energi kita semakin kuat.
Itulah harga dari ketaatan perusahaan perkebunan sawit di seluruh Indonesia. Sungguh tak ternilai bagi kemaslahatan negara dan rakyat kita. Untuk mencapai semua itu, tak hanya perusahaan yang dituntut taat, pemerintah pun seyogyanya memberikan fasilitas, misal menambah perangkat daerah yang bertugas dalam penilaian kelas kebun, agar ada percepatan proses sertifikasi tanpa melanggar hukum.
Peni Sari Palupi