Pemilihan umum legislatif tinggal tiga bulan lagi, 9 April 2014. Dan pemilu presiden lima bulan lagi, 9 Juli 2014. Pesta awal demokrasi sudah dimulai. Terlihat dari aksi tebar poster atau baliho para calon legislatif (caleg). Dari sisi ekonomi, Aviliani, ekonom dan Komisaris Independen BRI, pernah mengatakan bakal ada 6.000 caleg bakal menebar rata-rata Rp5 miliar per orang. Berarti ada Rp30 triliun yang potensial diraup pelaku bisnis. Tak terkecuali pelaku agribisnis.
Pun Glenn Pardede yang pengusaha benih hortikultura, yakin tahun politik ini bakal memberikan dampak positif terhadap komoditas agribisnis. Para pelaku usaha paling tidak mereka berpeluang meraup omzet dari konsumsi yang disuguhkan untuk para calon pemilih ketika mereka tengah mempromosikan diri dan tebar-tebar janji. Dalam satu porsi nasi kotak misalnya, pasti ada nasi, sayuran, dan lauk-pauk. Di sinilah pelaku agribisnis bermain. Mungkin di budidaya sayuran seperti sayuran, ayam, atau bahkan sapi potong. Peternak ayam pedaging dan petelur bisa berharap, harga yang jatuh pada kuartal terakhir tahun lalu bisa menguat pada bulan-bulan mendatang. Pun peternak sapi yang saat ini sedang “happy” karena harga masih bertahan tinggi. Kalau belum berani bermain di budidaya yang sarat dengan urusan teknis, bisa saja menyelami perdagangan dan olahan kulinernya.
Mengapa mengaitkan pemilu dengan peluang bisnis? Ini terkait dengan jumlah pengusaha Indonesia yang hanya sekitar 2%. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan negara maju, seperti China, India, Jepang, dan Amerika. Di negara-negara ini jumlah pengusahanya belasan persen dari total penduduk.
Lantas, bagaimana menambah jumlah pelaku usaha? Salah satunya melalui informasi. Tabloid ini termasuk yang punya misi menambah jumlah pengusaha agribisnis di Tanah Air. Untuk itu, kami menyuguhkan artikel yang bersifat inspiratif yang mendorong masyarakat terjun ke agribisnis melalui kisah sukses pelaku usaha, terutama skala kecil dan menengah dengan omzet Rp300 juta sampai Rp50 miliar setahun. Dari merekalah kiranya pembaca akan belajar mengenai gambaran perilaku pasar komoditas agribisnis, bagaimana mencari modal dari yang hanya pinjaman anggota keluarga hingga akhirnya berkembang dan ditaksir perbankan untuk dibiayai. Dari pelaku usaha yang ditampilkan pula pembaca akan mendapat tips mengelola hambatan dan tantangan.
Jalur lain lewat dunia akademik. Institut Pertanian Bogor misalnya, memiliki Pusat Inkubator Bisnis dan Pengembangan Kewirausahaan (Incubie). Misinya sangat mulia. Melayani dan membantu pengembangan UMKM dalam bidang agribisnis dan “green product” menjadi usaha yang tangguh, mandiri, dan mampu berkembang ke tingkat usaha menengah. Mengembangkan budaya kewirausahaan untuk mahasiswa, alumni dan masyarakat. Dan yang tak kalah pentingnya adalah memfasilitasi hasil-hasil riset inovatif untuk pengembangan usaha.
Cara lain dilakukan pihak perbankan. Glen Glenardi, Dirut Bank Bukopin, misalnya dalam sebuah talk show di televisi swasta mempromosikan Swamitra. Di sinilah para pelaku UKM mendapat dukungan. Yang usahanya bersifat belum bankable (layak dibiayai perbankan) dibina sampai bankable. Dan ujung-ujungnya menjadi nasabah Bukopin.
Bank Mandiri juga punya strategi yang mirip. Mereka membina usaha-usaha yang belum bankable melalui program bina lingkungan. Setelah berkembang dan layak, tentu mereka berharap dapat menyerap kredit lunak lewat program kemitraan yang berbunga rendah maupun komersial. Bahkan bank pelat merah ini punya Program Wirausaha Muda Mandiri yang menyasar kaum muda. Tiap tahun mereka menjaring pelaku usaha potensial untuk dilombakan.
Salah satu pemenangnya tahun lalu pernah ditampilkan AGRINA, Adi Widjaja, pengusaha Budi Mix Farming dari Kabupaten Grobogan, Jateng. Pengusaha muda yang meneruskan upaya ayahnya ini menang dengan proposal peningkatan produksi kedelai. Dengan formula pupuk khusus, Adi yang meraih hadiah Rp1 miliar dari Bank Mandiri ini mampu membina kelompok petani dan sukses menghasilkan kedelai varietas malabar versi grobogan rata-rata sebanyak 3 ton/hektar. Sekitar dua kali lipat produktivitas nasional dan ini mematahkan anggapan kedelai tak cocok dikembangkan di Indonesia.
Kalau saja ada banyak orang muda semacam Adi Widjaja di Tanah Air, tentu perajin tahu tempe tak perlu menggantungkan kebutuhan bahan baku ke petani mancanegara. Dengan harga pembelian yang memadai buat petani dan layak buat para perajin, komoditas ini bakal berkembang. Posisi tahun lalu, seperti terungkap dalam Refleksi 2013 dan Prospek 2014, Indonesia mengalami defisit sebanyak 1,3 juta ton. Praktis kekurangan ini diimpor dari negara lain.
Kini sebaiknyalah pemerintah lebih fokus mendukung usaha-usaha agribisnis di dalam negeri dengan kebijakan yang tepat agar usaha-usaha tersebut lebih efisien dan berdaya saing. Jadi, Indonesia tak hanya menjadi pasar produk luar negeri saat kebutuhan meningkat seperti hari raya keagamaan dan juga pemilihan umum. Saatnya pelaku domestik mereguk nikmat di negeri sendiri.
Peni Sari Palupi