Kualitas sumber daya manusia ditentukan banyak hal. Di antaranya adalah kualitas dan kuantitas nutrisi sejak kanak-kanak. Sungguh mengerikan gambaran yang diungkap organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO) bahwa hampir satu miliar jiwa menderita kurang gizi. Apa yang bisa diharapkan dari manusia yang tumbuh menjadi dewasa tanpa konsumsi pangan berkualitas dan cukup?
FAO menyodorkan data tentang peran industri unggas yang cukup besar saat ini. Dari 80 juta ton produksi unggas dunia, sebanyak 25 juta ton datang dari Asia selatan. Dan di sini pula kebanyakan penduduk kurang gizi berdiam di samping kawasan Afrika. Karena itu, FAO berharap peran industri unggas untuk mencukupi kebutuhan pangan, terutama protein hewani, bagi mereka.
Lain pula pandangan Bungaran Saragih, pakar agribisnis IPB yang juga Ketua Dewan Redaksi tabloid ini. Ia meyakini masa depan sumber protein dunia adalah perikanan. Alasannya terkait efisiensi pakan. Produksi perikananlah yang memberikan efisiensi paling tinggi. Kalau demikian halnya, pengembangan perikanan yang difasilitasi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), perlu mendapat dukungan.
Produksi perikanan tangkap dunia sudah menunjukkan kecenderungan stagnan sejak beberapa tahun. Paling tidak itulah yang ingin ditunjukkan Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, dalam acara Agribusiness Outlook 2014. Pun di Indonesia, Sharif C. Sutardjo, Menteri Kelautan dan Perikanan juga memaparkan stagnasi produksi perikanan tangkap selama tiga tahun pada angka sekitar 5,8 juta ton.
Sebaliknya data Global Outlook for Aquaculture 2012 memperlihatkan, produksi perikanan budidaya dunia diproyeksikan akan tumbuh terus dan akhirnya menyamai perikanan tangkap pada 2030. Ketika saat itu tiba, ekonomi Indonesia pun diramalkan Mc Kinsey akan menduduki peringkat 7 dunia. Jumlah kelas menengahnya bakal mencapai 135 juta jiwa dari total 285 juta jiwa.
Sumber daya makin sedikit, tetapi jumlah penduduk yang mesti diberi makan semakin banyak. Menjadi masuk akal apabila kita harus memilih komoditas pangan protein yang paling efisien untuk kita kembangkan. Saat ini KKP tengah gencar mengembangkan program revitalisasi tambak untuk mendorong produksi udang, baik windu maupun vanname. Ya, Indonesia memang mendapat durian runtuh ketika penyakit Early Mortality Syndrome (EMS) melanda pertambakan negara-negara pesaing kita di dunia, seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, kini Ekuador. Penyakit baru ini pun merontokkan volume produksi sehingga pasar dunia pun kekurangan pasokan.
Saat yang sama tambak kita hanya menghadapi penyakit-penyakit “klasik” saja. Apalagi kita juga bebas dari tuduhan dumping. Jadi, penurunan produksi di negara lain berimbas laris-manisnya udang kita di pasar internasional. Bolehlah kita bermimpi mengalahkan China, Indonesia terus berupaya meningkatkan produksi. Tambak-tambak yang lama tertidur dibangunkan dengan memberikan sedikit dana pengungkit untuk memperbaiki kolam budidaya. Melajukan instansi pemerintah dalam riset menghasilkan induk-induk unggul sendiri supaya tidak perlu impor dan praktis mengamankan tambak dari cemaran penyebab penyakit yang bisa saja ikut ndompleng masuk. Kita tentu tidak ingin mengulangi introduksi penyakit Taura Syndrome ke Tanah Air yang ikut masuk bersama induk impor.
Selain udang, nila juga mendapat perhatian untuk lebih mendunia. Indonesia memang memasok nila ke Amerika Serikat dan Eropa. Namun volumenya masih jauh dari besar pesaing terdekat, yaitu China. Padahal peluangnya cukup besar, baik untuk mengisi pasar dunia maupun meladeni pasar lokal.
Patin juga tengah digalakkan. Ikan yang satu ini berjaya tatkala pemerintah menutup impor terutama dari Vietnam. Namun setahun mendatang, menutup impor tak lagi mudah dengan berlakunya pasar bebas ASEAN. Lalu lintas produk antarnegara hanya bisa dihambat dengan penghalang teknis, tak ada lagi tarif yang bisa melindungi produk lokal kecuali daya saingnya sendiri. Karena itu produksi patin lokal pun dituntut mampu bersaing dengan dori Vietnam melalui efisiensi biaya produksi, pengelolaan industri yang lebih terpadu, dan satu lagi yang amat penting adalah infrastruktur.
Sudah cukup lama kita merindukan infrastruktur yang memadai untuk melancarkan aliran berbagai komoditas agribisnis dari sentra produksi ke sentra konsumsi. Dengan demikian para produsen menikmati margin cukup, sementara industri penggunanya mendapatkan pasokan bahan baku yang harganya wajar. Tak seperti sekarang, biaya logistik kita masih terhitung sangat mahal, bahkan sampai menyedot seperempat hingga sepertiga dari harga barang. Margin terbesar malah dinikmati para penyedia fasilitas logistik. Petani tetap saja mendapatkan margin minim, sementara industri kadang terpaksa mendatangkan bahan baku yang sama dari mancanegara. Bukan pilihan yang enak tentu saja. Demi mendapat kepastian bahan baku sesuai kebutuhannya, menyeberangkan devisa ke petani luar negeri. Seyogyanya pemerintah, terutama kementerian terkait infrastruktur berupaya keras membangun kebutuhan penting ini agar produk lokal tak lagi kalah bersaing di pasar sendiri. Berbuatlah demi masa depan anak-anak negeri.
Peni Sari Palupi