Jauh sebelum isu dumping ini disebarkan memang produk sawit Indonesia selalu menjadi sasaran tembak untuk sejumlah isu lingkungan. Sebutlah misalnya industri sawit Indonesia dituding sebagai penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca bagi dunia. Atau, julukan negeri dengan pembabatan dan perusakan hutan tercepat di dunia.
Padahal, berdasarkan data United Nation Work Convention on Climate Change (UNFCCC), International Energy Agency (2011) dan Intergovernmental Panel on Climate Change (2010), 10 negara penghasil emisi CO2 terbesar (dari konsumsi bahan bakar fosil/BBF) adalah China, Amerika Serikat, India, Rusia, Jepang, Jerman, Iran, Kanada, Korea Selatan, dan Inggris. Ke-10 negara itu menyumbang 52%-73% total emisi CO2 dari konsumsi BBF selama periode 1960-2010. Dengan data itu, jelas tudingan terhadap Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar dunia adalah pemutarbalikan fakta yang luar biasa.
Sedangkan tudingan perusak hutan jauh panggang dari api. Soalnya, berdasarkan studi ahli kehutanan FAO dan data FAO (2000-2010), dengan indikator kehutanan seperti luas hutan primer, luas hutan lindung, luas reforestasi, forest cover, dan luas hutan saat ini dibandingkan luas hutan sebelumnya, ternyata hutan di Indonesia masih tergolong 10 besar hutan terbaik di dunia.
Demikian pula tuduhan perusahaan sawit membakar hutan untuk membuka lahan perkebunan yang hanya mengada-ada. Sejak diberlakukannya moratorium pembukaan lahan gambut dan lahan hutan primer sejak 2011 sejatinya tak ada perusahaan sawit membuka lahan baru.
Konversi lahan gambut terbesar pun ternyata bukan terjadi di negeri ini melainkan di Rusia dan Eropa (70%). Juga pengurangan hutan di lahan gambut terbesar (95%) malah terjadi di kawasan Australia-Pasifik, Eropa, dan Rusia. Indonesia? Bisa dibilang relatif kecil.
Bila itu faktanya, lantas apa sebabnya industri sawit Indonesia selalu dijelek-jelekkan? Padahal, sejumlah prinsip pengelolaan industri sawit berkelanjutan, seperti RSPO dan ISPO, juga dilakoni berbagai produsen sawit di negeri ini. Yang jelas, produk minyak sawit mentah (CPO) Indonesia ternyata sudah sangat efisien sehingga mengancam keberadaan minyak nonsawit, terutama sebagai bahan baku biodiesel. Produksi CPO kita tahun ini diprediksi mencapai 28 juta ton, terbesar di dunia. Satu tahta yang dikuasai Indonesia semenjak 2006, dengan mengalahkan pesaing produsen CPO terbesar dunia lainnya, Malaysia.
Indonesia adalah penyumbang 47% dari kebutuhan kelapa sawit dunia, jauh lebih besar dibandingkan Malaysia (39%). Sedangkan produsen kelapa sawit lainnya adalah Nigeria, Thailand, Kolombia, Ekuador, Papua Nugini, Pantai Gading, dan Brasil. Sementara pasar terbesar CPO Indonesia saat ini India, China, dan UE.
Bila tak diserang dengan isu dumping dan lingkungan, tentu CPO Indonesia sangat mendominasi sebagai bahan baku biodiesel dan membikin komoditas minyak nabati nonsawit babak belur, padahal itu andalan Eropa. Sejauh ini, seperti data yang diungkap Kedutaan Besar Indonesia di Brussel, Belgia, salah satu sumber biofuel yang digunakan sektor transportasi di negara-negara UE adalah biodiesel yang diimpor dari negeri kita. Disebut pula ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa pada 2012 mencapai 2,6 juta ton.
Jadi, andai tak dijegal, biodiesel Indonesia bakal mengancam industri biofuel di negara-negara UE, merugikan petani mereka, dan kabarnya bisa menghilangkan 400 ribu lapangan pekerjaan di sana. Itulah ancaman yang membuat negara-negara UE kini mati-matian mengganjal biodiesel Indonesia dengan BMAD tadi.
Tentu semua tudingan perusak lingkungan, termasuk penghadangan lewat BMAD itu harus terus dilawan. Peran komoditas sawit sebagai salah satu penghasil devisa terbesar negeri ini mesti dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Namun, amat baik pula bila pelaku industri sawit mulai menelateni pasar dalam negeri. Sebab, untuk industri hilir, misalnya, Indonesia masih ketinggalan dibandingkan pesaingnya, Malaysia, yang mampu hasilkan lebih dari 120 jenis produk bernilai tambah tinggi dari bahan baku CPO. Kita baru belasan.
Peluang menjual biodiesel di dalam negeri pun kian besar. Sebab, dukungan pemerintah terhadap penggunaan bahan bakar nabati (BBN) di dalam negeri juga makin baik. Sejak beberapa bulan lalu, penggunaan campuran BBN untuk bahan bakar minyak (BBM) untuk berbagai sektor ditingkatkan. Pelanggaran terhadap peraturan ini pun akan dikenai sanksi. Jika semua lancar, pemerintah berniat menaikkan persentase campuran BBN ke dalam solar dari 10% jadi 20%.
Terus menangkis tudingan seraya mengembangkan pasar domestik tampaknya satu jalan yang mesti disusur.
Syaiful Hakim