Jelang akhir tahun, sejumlah lembaga termasuk tabloid ini menggelar berbagai seminar. Intinya, ingin melihat peluang dan tantangan tahun depan seperti apa. Agribisnis termasuk yang digadang-gadang ikut menikmati pertumbuhan akibat kenaikan populasi 3,6 juta orang per tahun. Apalagi, kalau melihat hasil studi Mc Kinsey yang diperbincangkan di berbagai ajang seminar. Ekonomi Indonesia yang saat ini menempati ranking 16 dunia diprediksikan akan melompat ke peringkat 7 pada 2030. Jumlah kelas menengah yang mampu berbelanja pun bakal naik dari 45 juta jiwa menjadi 135 juta jiwa. Mereka ini menciptakan peluang pasar hingga US$1,8 triliun. Ini jelas peluang emas yang jangan sampai hanya dinikmati masyarakat dan pelaku bisnis asing. Pelaku domestik harus mampu menjadi raja di negeri sendiri.
Untuk mampu meraih peluang itu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan, seperti tertuang dalam fokus edisi ini. Misal, pertanahan yang bermasalah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), khususnya di daerah-daerah yang tak segera dirampungkan para kepala daerah. Terkait dengan ini, Tony J. Kristianto, Sekjen Dewan Hortikultura Indonesia, dalam seminar Agribusiness Outlook 2014 itu sempat mengemukakan, izin penggunaan tanah tumpang-tindih. Sebidang lahan bisa diberikan beberapa izin, sehingga kalau dijumlahkan di seluruh Indonesia melebihi luasan Nusantara.
Tony juga mencontohkan hambatan lain terkait investasi asing dalam Undang-undang No.13/2010 tentang Hortikultura. Pasal 100 mengatur adanya pembatasan kepemilikan asing hanya 30%. Padahal, undang-undang tentang investasi masih menetapkan 49%. Hal ini juga dipertanyakan seorang pengusaha Belanda yang berbisnis di Medan dalam pertemuan pengusaha Belanda dan Indonesia bersamaan kunjungan Perdana Menteri Belanda Mark Rutten, 20 November silam.
Aviliani yang Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) juga menunjuk perlunya memperbaiki supply side agar agribisnis berkembang lebih baik. Supply side yang tidak mampu mengejar demand side ini menuntut kerjasama nan apik dari semua pemangku kepentingan. Pemerintah perlu memfasilitasi dengan kebijakan yang proagribisnis. Contoh paling mudah adalah penyediaan infrastruktur. Bila tersedia memadai, pelaku usaha pasti akan memanfaatkannya untuk mengembangkan komoditas yang ocok di daerah itu.
Kita juga butuh anggota parlemen yang melek dengan permasalahan di lapangan. Sebaiknya anggota komisi yang membidangi pertanian juga tahu banyak tentang bidang pengentas kemiskinan ini. Kita pun berharap ada penegakan hukum yang tak pandang bulu, agar semua peraturan terkait pengembangan agribisnis bisa berjalan dengan semestinya.
Kalangan industri peternakan pun mendambakan peraturan yang memihak pelaku di dalam negeri, meskipun sementara ini bahan bakunya masih didatangkan dari luar negeri. Industri sapi potong misalnya, masih butuh pasokan sapi bakalan dan indukan impor sembari mengembangkan sapi lokal. Diperlukan insentif yang mendukung usaha pengembangbiakan atau pembibitan sapi karena memang butuh waktu lama dan berbiaya besar.
Pun pelaku peternakan sapi perah rakyat. Pasar yang sangat besar di dalam negeri tak bisa mereka nikmati karena harga jual susu segar tak mengundang selera. Apalagi, skala kepemilikan ternak mereka sangat kecil, jauh dari skala ekonomi. Untuk mendapat untung lebih, mereka harus menciptakan pasar sendiri dengan mengolah susu segar.
Pelaku industri unggas pun masih butuh didukung dalam hal tata niaga yang selama ini lebih menguntungkan para pelaku di rantai tengah. Saat pasar tengah melemah seperti terjadi dalam tiga bulan terakhir, di satu sisi peternak rugi besar karena harga jual tak mampu menutup biaya. Namun, di sisi lain, konsumen tetap membayar mahal. Itu karena bentuk produk yang diperdagangkan kebanyakan masih berupa ayam hidup dan rantainya panjang. Peran pemerintah diharapkan dalam membangun rantai suplai dingin agar produk bisa ditahan kala harga lemah, dan ketika harga terlalu tinggi bisa dilepas.
Tahun ini Indonesia akan menggelar hajatan besar lima tahunan, memilih calon anggota legislatif 9 April dan calon presiden 9 Juli. Nantinya anggota legislatif yang terpilih bersama presiden baru akan menentukan merah-birunya dunia agribisnis di Tanah Air. Nah, mumpung masih dalam proses, kita harus ikut bertanggung jawab dengan memilih wakil rakyat yang tepat. Paling tidak, yang bersih dari cemaran korupsi. Dengan demikian, kalaupun yang bersangkutan nanti ditempatkan di komisi yang terkait agribisnis, kita bisa memberikan masukan. Harapan kita, tentu saja anggota legislatif yang terpilih mampu menghasilkan dan memelihara perundangan proagribisnis.
Soal presiden, selain bersih dari korupsi, juga mesti berani. Berani menempatkan sektor pertanian sebagai unggulan untuk memberantas kemiskinan, memproduksi pangan yang lebih efisien, dan akhirnya mencapai kedaulatan pangan. Kita tak ingin pasokan pangan rakyat mengandalkan sepenuhnya dari impor. Memang, impor tak bisa dihindari dalam era perdagangan bebas, tapi impor hanya menjadi pelengkap.
Peni Sari Palupi