Setiap tahun baru menjelang, pastilah semua orang berdebar akan peruntungannya, turun, tetap atau justru gemilang. Agaknya, demikian pula dengan bidang agribisnis.
”Kita tentu berharap-harap cemas, namun pasti ada sejumlah peluang yang bisa kita manfaatkan,” ujar Bungaran Saragih, Menteri Pertanian periode 2000-2004, saat memberi pengantar pada Seminar Nasional Agribusiness Outlook 2014 yang digelar tabloid ini di Jakarta, Rabu pekan silam (27/11).
Menurut Bungaran, salah satu tantangan adalah exchange rate (nilai tukar) rupiah yang sebelum 2012 dibuat kuat secara artifisial dengan tujuan membantu sektor industri tertentu di Tanah Air. Namun, akibatnya, desakan akan nilai rupiah yang riil akhirnya ”meletus” juga dari angka Rp9.000-an itu berangsur meluncur ke Rp11.000 – Rp12.000/dollar AS.
Pandangan itu diperkuat Aviliani, Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN), yang menegaskan janganlah kita berharap rupiah bakal kembali pada nilai Rp9.000-annya. ”Itu dulu hanya bonus dari derasnya arus uang (investasi) yang masuk karena krisis global,” paparnya.
Tak semuanya bermuram, tentu. Sebab, ini artinya nilai komoditas produk ekspor agribisnis, terutama dari sektor perkebunan semacam sawit, cokelat, karet, bakal naik pula. Yang juga bergirang hati tentu produsen komoditas agribisnis substitusi impor. Diprediksi sejumlah komoditas agribinis impor bakal berkurang di pasaran, dan dengan sendirinya harganya naik. Jelas ini peluang bagi produsen komoditas dalam negeri yang menjadi substitusi produk tersebut.
Kondisi negeri ini yang memberi berkah itu adalah populasinya yang besar dan terus tumbuh, serta pertumbuhan ekonominya yang 5%-6%. Terlebih, dengan terus bertambahnya masyarakat kelas menengah. Ini tentu peluang pasar yang menarik! Bakal digelarnya hajatan nasional pada 2014, pemilihan legislatif dan presiden, diprediksi pula akan menaikkan konsumsi, selain pencairan bujet pemerintah yang akan lebih cepat.
Namun, menurut Aviliani, masih ada yang mengganjal terkait agribisnis di Tanah Air. Jika bidang lain mampu meraih pertumbuhan di atas 5%, ternyata agribisnis hanya mencapai kisaran 4%. Rupanya, penyediaan lahan menjadi biang keroknya. Ada ketidakharmonisan antara rencana tata ruang yang dibuat pusat dengan kondisi di lapangan sebagai akibat peraturan daerah yang lamban disesuaikan.
Suara kritis itu sejalan dengan pandangan pengamat agribisnis Rachmat Pambudy yang memaparkan komoditas primer pertanian selama kurun waktu 2012-2013 menunjukkan tingkat pertumbuhan positif dengan tingkat pendapatan relatif stabil. Tak adanya perkembangan menawan itu disebabkan kesulitan meningkatkan produksi akibat konversi lahan, input produksi yang tidak efisien, dan juga kurangnya keberpihakan terhadap sektor pertanian.
Toh, ada beberapa hal membesarkan hati diungkapkan Himawan Hariyoga, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal BKPM. Saat ini, negeri kita berada pada posisi kelima dalam 10 Besar Negara Tujuan Penanaman Modal Asing (PMA) untuk Sektor Primer Agribisnis Dunia di bawah China, Brasil, Argentina, dan Turki. Dan bila melihat daftar 10 Besar Negara Tujuan PMA untuk Sektor Sekunder Agribisnis Dunia, negeri ini berada posisi keempat di bawah China, AS, dan Rusia.
Juga di sektor hortikultura, seperti diungkapkan Glenn Pardede, Ketua Umum Asosiasi Bunga Indonesia dan Presdir PT East West Seed Indonesia, tahun depan ada kenaikan permintaan komoditas hortikultura 10%-15%. Tapi, naiknya permintaan itu harus didukung teknologi maju dan inovasi baru. Pemerintah pun diharapkan lebih mengerahkan sumber dayanya untuk pengembangan riset.
Sedangkan terkait daging sapi, Yudi Guntara Noor, Ketua Umum Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), mengingatkan stabilisasi harga daging sapi pada 2014 akan sangat dipengaruhi ketersediaan sapi lokal, sapi bakalan/siap potong impor, daging impor, serta nilai tukar rupiah. Diharapkan pemerintah mengeluarkan regulasi kebijakan importasi yang kondusif.
Peluang di sektor perkebunan kakao, menurut Sindra Wijaya, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), memang bakal meningkat. Namun, harus segera diadakan pembenahan kebun kakao tua, mengatasi hama dan penyakit (Penggerek Buah Kakao dan Vascular Streak Dieback), mewaspadai jumlah petani dan penerusnya yang kian berkurang, serta mengakhiri konversi kebun kakao ke komoditas lain.
Di sektor perikanan, menurut Rokhmin Dahuri, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), mirip dengan tren global, memang permintaan domestik atas seafood dan ikan konsumsi diyakini terus meningkat. Ini terjadi selain karena pertambahan jumlah penduduk, tumbuhnya kelas menengah, juga lantaran adanya kesadaran akan gizi ikan (seafood) yang lebih baik dan sehat ketimbang read meat.
Namun, pastilah tak bisa dilupakan pesan Bungaran, peluang-peluang itu tentu harus ditangkap dengan serius. Soalnya, di era liberalisasi perdagangan seperti sekarang, salah-salah peluang-peluang itu tak mampu disambar produsen komoditas agribisnis di dalam negeri. Duh, jangan sampai gigit jari!
Syaiful Hakim