Bicara tentang jagung untuk kebutuhan pabrik pakan terasa tak ada habisnya, nyaris menjadi masalah klasik. Pabrik pakan membutuhkan jagung dalam jumlah relatif merata tiap bulan, sementara pasokan jagung dari petani mengikuti pola tanam. Pada musim panen besar, Maret - April, mencakup 50% produksi nasional. Separuh lainnya dari dua musim panen musim kemarau. Oktober hingga November, pasokan jagung amat sedikit, hanya berasal dari daerah yang memperoleh hujan lebih awal.
Tak terhindarkan, pabrikan pakan yang butuh 7 juta ton tahun ini terpaksa mengimpor demi kelangsungan produksi pakan ternak mereka. Kalau pihak pabrikan ditanya, mana lebih disukai antara jagung lokal atau jagung impor, pastilah mereka menjawab lebih senang jagung lokal. “Dari segi kualitas nutrisinya lebih fresh, kualitas energinya mungkin lebih bagus. Yang jelas, pigmennya lebih bagus, kadar lemaknya juga tinggi,” begitu komentar salah satu dari mereka.
Hanya saja, pasokan jagung lokal banyak yang tidak cocok dengan standar pabrik. Sebut saja kadar air yang terlalu tinggi, padahal mestinya maksimum 15%. Belum lagi cemaran racun cendawan melebihi ambang, yang kalau ditoleransi akan membahayakan ternak pengonsumsi pakan mereka. Risiko ini jelas terlalu besar dipertaruhkan kalau mau ngotot menerima jagung lokal yang di bawah standar.
Selain soal kualitas, keharusan menyediakan uang dalam jumlah besar juga menjadi konsekuensi pengadaan jagung dari impor. Pasalnya, pabrikan tak bisa mengecer satu-dua truk. Sekali order harus ribuan ton sekaligus. Belum lagi risiko barang tidak dikirim. Jadi, bila kualitas jagung petani bisa dibuat memenuhi standar pabrik pakan, petani tak usah risau hasil panennya tak dibeli. Pun ketika harga internasional menurun sampai semester pertama tahun depan seperti perkiraan Prof. Budi Tangendjaja, ahli nutrisi ternak sekaligus perwakilan US Grains di Indonesia. Harga di pasar lokal tetaplah masih cukup menguntungkan petani karena harga yang rendah tadi masih ditambah sejumlah biaya membawanya ke pabrik.
Lantas, apa solusi menjaga pasokan bahan baku utama pakan unggas itu? Satu-dua anggota Asosiasi Produsen Pakan Ternak (GPMT) sudah mencoba menjalin kemitraan dengan kelompok tani jagung di sekitar lokasi pabrik. Hasilnya, sebagian kemitraan masih berjalan karena melibatkan perbankan, sebagian lainnya berantakan akibat komitmen di antara keduanya tak terjaga baik. Salah satu pihak mencederai janji yang merugikan pihak lain. Cedera janji ini bisa jadi lantaran petani tergiur menjual jagungnya keluar akibat iming-iming harga lebih tinggi. Kendati pihak perusahaan sudah ikut menanggung sebagian risiko produksi jagung. Bahkan, di salah satu kemitraan yang dijalin perusahaan investor asing, si petani “mencuri” jagung di ladang sendiri untuk dijual ke pasar lain.
Di samping itu, kemitraan juga berpeluang gagal bila si petani pindah komoditas karena harganya lebih menggiurkan. Lampung menjadi contoh nyata penurunan produksi lantaran petani beralih haluan ke komoditas singkong yang relatif lebih gampang pemeliharaannya. Walhasil, jika biasanya pabrikan pakan di Lampung memasok kebutuhan cabang pabrikan di Banten, kini berkebalikan. Yang di Lampung mendapat kiriman dari daerah lain karena tak mencukupi.
Apapun penyebabnya, semestinya kedua belah pihak mewujudkan komitmen yang disepakati. Bila ada keadaan yang merugikan salah satu, duduklah bersama membuat kesepakatan baru yang win-win, saling menguntungkan. Toh, keduanya saling membutuhkan dalam jangka panjang. Petani mendapat kepastian pasar bagi hasil panennya, sedangkan pengumpul atau pabrikan pakan pun mendapat kepastian suplai bahan baku.
Melalui kemitraan, produksi jagung petani bisa ditingkatkan kuantitas ataupun kualitasnya, baik sejak dari lapangan saat produksi maupun melalui penekanan kehilangan hasil setelah panen dengan mekanisasi. Cara ini sebenarnya telah dirintis investor di Gorontalo. Sejak awal budidaya, petani difasilitasi menanam benih unggul lalu dibimbing agar mempraktikkan cara budidaya yang baik dengan harapan produksi bisa maksimal. Si investor pun sudah memanfaatkan traktor untuk mengolah lahan, menanam, hingga menjalankan mesin panen yang cukup baik. Sayang, kembali ke komitmen yang kurang terpelihara bikin ekspansi perusahaan tak berjalan mulus.
Tidak nyambungnya daerah produksi dan lokasi pabrikan juga terjadi di lapangan. Produksi jagung di sekitar Palembang, misalnya, tak punya pasar pabrikan karena di sana belum ada pabrik pakan. Bahkan, jagung Palembang sampai dibeli pedagang dari Jawa Tengah. Padahal, kita tahu berapa ongkosnya bila si ”emas pipil” ini harus menyeberang laut karena fasilitas logistik kita belum baik.
Barangkali pula pihak pabrikan sudah “agak bosan” pergi dari satu rapat ke rapat lain untuk membahas keamanan pasokan jagung. Tak terhitung rapat yang melibatkan banyak pihak terkait, tapi tetap saja solusi agar impor bisa ditekan belum ada yang jempolan. Malah, tahun ini diperkirakan naik lagi dari tahun lalu yang sekitar 1,5 juta ton menjadi 3 juta ton. Ayolah para pihak terkait, pemerintah, petani ataupun pabrikan pakan lebih serius mencari jalan terbaik yang bikin sama-sama happy.
Peni Sari Palupi