Tuntutan akan pengelolaan industri kelapa sawit yang berkelanjutan memang terus berkembang. Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kelestarian lingkungan, misalnya, masih tetap beranggapan prinsip dan kriteria yang ditetapkan sejumlah lembaga, baik nasional maupun internasional, untuk mengembangkan industri sawit berkelanjutan belum cukup melindungi lingkungan.
Prinsip dan kriteria Roundtable on Sustainability Palm Oil (RSPO), yang bersifat sukarela, ataupun bahkan Indonesian Sustainability of Palm Oil (ISPO), yang dibesut pemerintah Indonesia dan bersifat wajib, termasuk yang masih dinilai oleh LSM lingkungan, umpamanya Greenpeace, belum melindungi hutan dari penebangan atau deforestasi. Greenpeace sendiri, bersama beberapa stakeholder sawit yang sepaham, belakangan menyusun kaidah pengelolaan sawit berkelanjutan yang dinamai Palm Oil Innovation Group (POIG), yang tegas menolak deforestasi dan penanaman di lahan gambut.
Sikap tanpa kompromi atas deforestasi dan penanaman sawit di lahan gambut tentu bakal berbenturan pula dengan pihak yang masih memungkinkan atau menoleransi penambahan areal. Sedangkan perkembangan prinsip dan kriteria kebun sawit berkelanjutan, yang kian ketat, yang disusun semua pihak tadi jelas pula menuntut pembiayaan semakin besar. Jadi, muncullah pandangan yang beranggapan suatu saat hanya perusahaan-perusahaan besarlah yang mampu memenuhi persyaratan kebun sawit berkelanjutan tadi.
Persoalannya pekebun rakyat, swadaya, tak mampu lagi mengikuti aturan-aturan yang semakin ketat dan cenderung berbiaya tinggi tersebut. Jika demikian, tentu ini bakal mengancam pertumbuhan ekspor crude palm oil (CPO) yang masih menjadi salah satu penghasil utama devisa Indonesia saat ini. Toh, pengusung pandangan alternatif ini juga mempunyai solusi yang ditawarkan.
Mengapa hanya memandang untuk menjual bahan baku ke luar, mengekspor? Mengapa tak mulai menatap pasar dalam negeri sendiri, dengan cara mengembangkan industri hilir sawit? Saat ini, sekitar dua pertiga hasil produksi CPO negeri ini ditujukan sebagai komoditas ekspor ke mancanegara. Saat ini, Indonesia adalah produsen nomor satu dunia untuk CPO, sebuah posisi yang direbut pada 2006 silam, dengan produksi pada 2013 ini sebesar 28 juta ton, mengatasi sang runner up, Malaysia, yang tahun ini diperkirakan hanya menghasilkan 18,9 juta ton.
Dengan posisi sebagai produsen akbar dunia, tentu hasil produksi CPO negeri ini juga bakal mempengaruhi harga internasional. Jika hanya menujukan hasil produksi pada ekspor, bayangkan pengaruhnya pada harga sawit dunia apabila produksi ”emas cair” negeri ini meningkat pesat. Apakah harus meredam laju produksi, demi menunggu harga yang membaik? Mengingat besarnya jumlah penduduk negeri ini, tentu Indonesia tak perlu khawatir tak dapat menampung hasil olahan minyak sawit yang dihasilkan, seandainya memang nanti industri hilir dikembangkan.
Bukankah nilai tambah yang dihasilkan melalui pengolahan di industri hilir jauh berlipat dibanding hanya menjualnya dalam bentuk mentah. Apalagi, pemerintah menargetkan produksi CPO negeri ini mencapai 40 juta ton pada 2020. Alangkah sayangya nilai tambah yang mestinya berlipat itu bila hasil produksi sawit jika hanya diekspor dalam bentuk bahan baku.
Sebagai gambaran, tandan buah sawit (TBS) yang diolah menjadi CPO memiliki nilai tambah 30%. Sedangkan bila TBS itu diolah menjadi minyak goreng memberi nilai tambah 60%, jika diolah menjadi sabun 300%, sedangkan jika menjadi bahan kosmetik 600%. Tak hanya itu, ada dua manfaat lagi pengembangan industri hilir, yakni memperluas lapangan kerja, serta membuat lebih beragam kegunaan produk yang dihasilkan. Sekarang saja, jasa industri sawit di hulu sudah sangat besar dalam menaikkan taraf kesejahteraan rakyat.
Memang, saat ini Indonesia adalah produsen CPO terbesar dunia. Namun, dalam bidang pengolahan, kalah jauh dibanding rivalnya, Malaysia, yang industri hilir sawitnya mampu mengolah CPO menjadi lebih dari 120 jenis produk bernilai tambah tinggi. Indonesia sendiri baru mampu mengolahnya menjadi belasan produk. Dari CPO, juga dari palm kernel oil, bisa dihasilkan sejumlah produk turunan bidang pangan seperti emulsifier, margarin, minyak goreng, shortening, susu full krim, konfeksioneri, yogurt, dan lain-lain. Sedangkan untuk bidang nonpangan dapat dihasilkan, antara lain, epoxy compound, ester compound, lilin, kosmetik, pelumas, fatty alcohol, dan biodiesel.
Malah, untuk yang disebut terakhir, biodiesel, kebutuhan untuk meningkatkan produksinya terasa mendesak. Setidaknya, pemerintah sudah memulainya dengan mewajibkan pencampuran biodiesel asal sawit dengan solar. Dengan produksi CPO yang terbesar di dunia, negeri ini harusnya mampu menghadapi dengan tenang ancaman habisnya bahan bakar fosil yang mencemaskan dunia itu. Tentu, asal mau bekerja keras untuk mengembangkan industri hilir sawit lebih jauh lagi, khususnya biodiesel. Sekali menjadi berkah, sawit mestinya tetap menjadi berkah. Bisakah?
Syaiful Hakim