Industri hortikultura negeri ini sebenarnya masih perlu digenjot lagi produktivitas dan daya saingnya. Kendati, saat ini, secara umum hasil yang bisa dinilai cukup baik. Setidaknya, jika kita melihat data produksi komoditas yang satu ini untuk kawasan ASEAN.
Berdasar data FAO Stat 2011, Indonesia menduduki peringkat pertama dalam produksi buah. Posisi itu diikuti oleh Filipina, Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Sedangkan untuk sayur, Indonesia hanya menduduki posisi kedua di bawah Vietnam. Peringkat berikut diduduki Filipina, Myanmar dan Thailand.
Namun, bila dibandingkan kawasan lebih besar, Asia, memang kontribusi Indonesia masih amat kecil. Jika untuk buah di ASEAN negeri ini sanggup memberikan kontribusi terbesar, yaitu 30,14%, di Asia hanya meraup 4,2%. Bahkan, sayur jauh lebih kecil, di ASEAN berkontribusi 25,9%, di Asia hanya 1,2%.
Yang menarik tentu mencermati data ekspor-impornya. Untuk buah, berdasar data Direktorat Perbenihan, Ditjen Hortikultura Kementan, negeri ini pada 2012 mengekspor senilai US$242,4 juta, sedangkan nilai impornya US$996,4 juta. Untuk sayur, nilai ekspornya sebesar US$251,8 juta dan impor mencapai US$854,8 juta. Dibandingkan 2011, baik nilai impor sayur maupun buah, juga nilai ekspornya, memang sama-sama naik. Pada 2011, impor dan ekspor buah mencapai nilai US$856 juta dan US$241 juta. Sedangkan nilai impor dan ekspor sayur sebesar US$780 juta dan US%196 juta.
Tetap meningkatnya pula nilai impor buah dan sayur inilah yang kerap dipersoalkan. Padahal, ada juga produk hortikultura kita yang ekspornya lebih besar dari impor. Yakni, florikultura, yang nilai ekspornya pada 2012 mencapai US$27 juta, sedangkan impor hanya US$12,9 juta. Tahun sebelumnya pun, florikultura tetap lebih banyak mengirim produknya ke mancanegara ketimbang mendatangkan ke dalam negeri.
Masalahnya, dengan gampang orang melihat serbuan buah dan sayur impor di pasar-pasar modern, bahkan sering melebar ke penjaja di pinggir jalan. Daya saing produsen buah dan sayur di negeri-negeri pengekspor buah itu agaknya memang luar biasa. Penampilan produk mereka, khususnya wujud produk yang dijajakan, misalnya, memang jauh lebih menarik. Dan tentunya, mereka mampu memproduksi dalam jumlah besar-besaran, dan murah.
Salah satu alasan ketertinggalan negeri ini dalam kemampuan memproduksi komoditas hortikultura bisa dilihat dalam kasus bawang putih. Komoditas yang masih diimpor dalam jumlah besar ini (462.877 ton, 2012), sempat meroket harganya, bahkan mencapai rekor baru dalam sejarah bisnis bawang putih di Indonesia, yakni di atas Rp100 ribu/kg. Di China, para petani aman memproduksi sebanyak-banyaknya bawang putih lantaran di negeri itu tersedia cold storage di setiap desa penghasil komoditas itu. Jadi, sekali panen, mereka mampu menyimpan, tentu dengan mutu yang terjaga, banyak sekali bawang putih yang akan mereka ekspor ke berbagai negara.
Selain itu, dukungan pemerintah China terhadap pertanian tampaknya juga tak main-main. Setidaknya, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal seperti perbenihan, kemudahan kredit, dan infrastruktur. Perhatian pemerintah China ini agaknya mirip dengan keterlibatan yang mesra Raja Thailand dengan kegiatan memajukan bidang pertanian di negeri itu.
Kasus bawang putih, serbuan buah impor, juga kelangkaan buah impor gara-gara Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) serta ancaman gugatan dari negara lain lantaran RIPH yang dinilai melanggar aturan badan perdagangan internasional (World Trade Organization) itu memang sempat melilit dunia hortikultura di Tanah Air. Tentu, semua itu juga sempat mengundang cibiran masyarakat yang menilai pemerintah hanya mengambil jalan pintas, melakukan pembatasan impor, guna menutupi kelemahan dalam hal kemampuan memproduksi.
Memang, pemerintah sendiri sudah memetakan kendala dalam pengembangan hortikultura. Sebutlah, antara lain, kendala dari kebun yang terpencar, tidak teratur, dan berskala usaha kecil; benih bermutu yang belum cukup tersedia; ancaman OPT dan dampak perubahan iklim; tingkat kehilangan hasil (sarana pascapanen); pengetahuan petani dan jejaring kerja; serta ketidakmampuan dalam kontinuitas produksi.
Solusinya juga sudah dikenali pemerintah, yakni, antara lain, pengembangan kawasan/penataan kebun; skala usaha: sesuai kapasitas, daya beli, dan besarnya pasar; penguatan sistem perbenihan; penguatan sistem perlindungan tanaman; serta penanganan pascapanen. Artinya, tinggal gerak langkah yang cepatlah yang perlu dilakukan.
Apalagi, pemerintah sendiri, lewat Menteri Pertanian Suswono, saat membuka acara Pekan Flori dan Flora Nasional (PF2N) di Yogyakarta, awal Oktober lalu, menandaskan negara atau pemerintah tentu tak akan tinggal diam untuk memberikan dukungan kepada bidang hortikultura. Terlebih, kebanyakan petani hortikultura kita adalah petani gurem yang kepemilikan tanahnya sangat sempit, sehingga tidak ada alasan bagi negara untuk tidak memberikan dukungan kepada mereka.
Jika sudah demikian adanya, menanti apa lagi?
Syaiful Hakim