Minggu, 22 September 2013

Mengulik Hasil Sementara ST2013

Sensus Pertanian digelar lagi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 hingga 31 Mei 2013 ini. Dengan pelaksanaan ini berarti sudah 6 kali digelar sensus pertanian di Tanah Air. Sensus pertama diadakan pada 1963, dan selanjutnya dilaksanakan pada 1973, 1983, 1993, dan 2003. Sekarang tema yang diusung adalah ”Menyediakan Informasi untuk Masa Depan Petani yang Lebih Baik”.

Ada sejumlah perbedaan dari sensus 10 tahun lalu. Pada 2003, Aceh tak didata, tetapi untuk Sensus Pertanian 2013 (ST2013) ini seluruh 33 provinsi turut didata. Juga pada cakupan popolasi. Kali ini, meliputi perusahaan berbadan hukum, perusahaan tak berbadan hukum atau bukan usaha rumah tangga (pesantren, seminari, lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain yang mengusahakan pertanian), dan usaha pertanian di rumah tangga. Pada 2003, tak ada pendataan perusahaan tak berbadan hukum atau bukan usaha rumah tangga ini.

Demikian pula terkait konsep rumah tangga pertanian. Sebelum ini, konsepnya adalah rumah tangga yang mengusahakan komoditas, yang tiap komoditasnya harus memenuhi batas minimal usaha (BMU). Kali ini, yang dimaksud adalah rumah tangga yang salah satu atau lebih anggota rumah tangganya mengelola usaha pertanian dengan tujuan sebagian atau seluruh hasilnya untuk dijual, baik usaha pertanian milik sendiri, secara bagi hasil, atau milik orang lain dengan menerima upah, dalam hal ini termasuk jasa pertanian.

Sensus ini memang belum sepenuhnya tuntas lantaran masih ada Survei Pendapatan Rumah Tangga Pertanian (SPP) dan Survei Subsektor. Namun, sejumlah data sementara sudah bisa dicermati. Misalnya, terungkap jumlah usaha pertanian di Indonesia sebanyak 26,1 juta dikelola rumah tangga, 5.500 dikelola perusahaan pertanian berbadan hukum, dan 6.200 lagi dikelola oleh selain rumah tangga dan perusahaan berbadan hukum. Dibandingkan 2003, jumlah rumah tangga usaha pertanian menurun 5,04 juta dari 31,17 juta rumah tangga menjadi 26,13 juta.

Ini berarti menurun 1,75% per tahun. Namun, seperti ditegaskan Suryamin, Kepala BPS, penurunan ini tak harus membuat gundah karena demikianlah umumnya perkembangan sebuah bangsa. Mereka yang awalnya hidup dari pertanian perlahan bergeser ke bidang industri atau perdagangan. ”Normal,” ujarnya.

Boleh jadi, muncul pertanyaan menggelitik, yang tentu membutuhkan jawaban berdasar sensus pula. Misalnya, apakah pergeseran itu lantaran kemajuan atau jangan-jangan keterpepetan? Umpamanya, karena derasnya alih fungsi lahan? Tak mampu bersaing dengan komoditas impor? Lantas, naik atau turunkah pendapatan mereka yang pindah bidang tadi?

Sementara itu, jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum terbanyak berlokasi di Jabar, 695 perusahaan, dan paling sedikit di Sulbar, 23 perusahaan. Sedangkan usaha pertanian yang dikelola selain rumah tangga dan perusahaan berbadan hukum terbanyak terdapat di Jatim, 921 unit, dan paling sedikit di Riau, 10 unit.

Total, ada penambahan 1.475 perusahaan pertanian berbadan hukum di seluruh Indonesia. Jabar bertambah paling banyak, yaitu 215 perusahaan, disusul Sultra (189), Jateng (150), Sulteng (144), dan Kalteng (103). Sedangkan yang kehilangan perusahaan terbesar adalah Kalbar, berkurang 75 perusahaan, dan Sumut (berkurang 45). Tentu, menarik melacak mengapa sebuah daerah demikan pesat pertambahan perusahaannya, dan mengapa wilayah lain bisa anjlok.

Terkait data sapi dan kerbau, dari hasil ST 2013 ini terungkap populasi sapi dan kerbau mencapai 14,2 juta ekor. Padahal, pada pelaksanaan Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) 2011 pada 1-30 Juni 2011, tercatat populasi sapi dan kerbau pada 1 Juni 2011 sebanyak 16,7 juta ekor. Jadi, terjadi  penurunan 2,5 juta ekor dalam waktu sekitar dua tahun ini.

Bila dirinci berdasar wilayah, provinsi yang memiliki sapi dan kerbau paling banyak adalah Jatim dengan jumlah 3,8 juta ekor, lalu Jateng (1,7 juta), dan Sulsel (1,1 juta). Sedangkan yang paling sedikit adalah DKI Jakarta dengan jumlah 5.000 ekor.

Namun, wilayah yang paling tergerus adalah Jatim, kehilangan 1,2 juta ekor, disusul Jateng (513 ribu), Lampung (182 ribu), Bali (161 ribu), dan Jabar (105 ribu). Sedangkan yang paling bertambah, Sulteng sebanyak 18,5 ribu ekor dan Sultra (15,5 ribu).

Memang belum terjawab, berapa jumlah sapi dan kerbau yang ”hilang” itu, dan berapa jumlah jantan dan betinanya. Namun, tentu terbetik pertanyaan, apakah ini dampak kebijakan pengurangan importasi daging dan sapi bakalan yang  dinilai terlalu drastis sehingga sapi dan kerbau lokal tergerus habis-habisan? Lantas, apakah juga betina produktif turut dipotong lantaran permintaan daging sapi amat tinggi sehingga nyaris tak ada pertumbuhan populasi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini tentu sangat berharga dalam menyusun kebijakan swasembada daging sapi.

Pasti bakal masih banyak pertanyaan, tentu terkait juga sektor-sektor pertanian lain, yang bermunculan seiring perkembangan sensus ini. Yang jawabannya, sekali lagi, pastilah bermanfaat guna menyusun kebijakan ke depan, agar masa depan petani lebih baik lagi, sesuai tema sensus tahun ini.

Syaiful Hakim

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain