Senin, 5 Agustus 2013

Mendamba Keberpihakan Pemerintah

Dalam suasana peringatan Proklamasi Kemerdekaan ke-68, ada baiknya pimpinan nasional dan pengambil kebijakan berintrospeksi diri. Sudahkah kebijakan yang mereka ambil mampu menggerakkan perekonomian nasional dan menyejahterakan masyarakat secara merata?

Sektor agribisnis, sejak zaman penjajahan hingga zaman reformasi sekarang, diyakini dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi di pedesaan sampai perkotaan. Di zaman penjajahan, terutama Belanda menjadikan komoditas perkebunan lumbung gulden. Hasilnya diangkut ke Eropa untuk menggemukkan pundi mereka. Saat penjajah angkat kaki, berpindah-tanganlah perkebunan mereka ke pemerintah Republik Indonesia. Mulailah sepenuhnya perkembangan agribisnis di Tanah Air sangat dipengaruhi visi pemimpin nasional yang dijabarkan para pembantunya.

Sampai umur 68 tahun negeri ini, kita mengalami tiga orde, yaitu Orde Lama dalam kepemimpinan Presiden Soekarno, Orde Baru dinakhodai Presiden Soeharto, dan Orde Reformasi terutama diarahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. AGRINA kali ini menampilkan liputan khusus tentang perjalanan agribisnis nasional dengan meminta pandangan para tokoh yang dinilai kompeten di bidangnya.

Rata-rata mereka menyanjung Presiden Soeharto. Era Pak Harto yang berlangsung sangat lama, sejak 1968 hingga 1998, cukup mumpuni untuk menjaga konsistensi pelaksanaan program jangka panjang melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita I-V). Wajar bila beberapa komoditas menjulang kinerjanya dalam periode ini. Sebut saja tanaman pangan. The smiling general ini terkenal sangat memperhatikan pangan bagi masyarakatnya. Usahanya all-out memperjuangkan pangan murah. Maklum, kecukupan pangan dan harga yang terjangkau mengait pula kestabilan politik.

Presiden kedua kita itu melaksanakan apa telah diletakkan dasarnya oleh pendahulunya, seperti Program Bimbingan Massal (Bimas) dan Intensifikasi Massal (Inmas). Inovasi kelembagaan, yang dikatakan Prof. Dr. Bustanul Arifin, tiada tandingan di belahan bumi mana pun tersebut memberikan hasil memuaskan ketika diwujudkan dalam gerakan massal di lapangan.  Pak Harto juga menyempurnakannya lewat Intensifikasi Khusus.  Lalu, ada pula Panca Usaha Tani dan Sapta Usaha Tani.

Kita tentu masih ingat betapa penyuluh pertanian lapangan (PPL) sangat akrab dengan petani dan kelompok tani. Bahkan melalui televisi, waktu itu baru ada TVRI, ada lomba Klompencapir, yaitu Kelompok Pendengar Pembaca dan Pirsawan. Kelompok warga petani yang meningkatkan pengetahuan dan keterampilan melalui mendengarkan siaran radio, membaca koran, majalah atau buku-buku dan memirsa siaran televisi. Mereka dibuat melek informasi terkait dengan aktivitas mereka memproduksi tanaman. Pokoknya, demi pangan, banyak alokasi biaya dan tenaga. Sampai akhirnya Presiden diundang ke markas FAO untuk menerima penghargaan karena mampu berswasembada beras.

Juga ada kelapa sawit seperti disebut dalam buku “Perkebunan dalam Lintasan Zaman”. Pada 1980-an, luasnya baru 300 ribu hektar (ha). Dalam 15  tahun luasnya meningkat tajam jadi lebih dari 2 juta ha. Produksinya pun naik dari 200 ribu ton pada 1969 jadi 5 juta ton pada 1996.  Sawit hanya salah satu dari beberapa komoditas perkebunan lain yang menjadi leading sector dan mampu memakmurkan pelaku bisnisnya saat itu.

Peternakan pun mengalami kegemilangan saat zaman Orba. Ayam ras, baik ras pedaging maupun petelur, yang mulai masuk Indonesia awal 1972 lalu berkembang pesat. Model integrasi vertikal yang dikembangkan untuk mengelola segmen hulu (industri pakan dan DOC), segmen produksi dan pengolahan mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing industri ayam ras pedaging dan telur.  Meskipun harus diakui tak terlalu banyak juga kebijakan pemerintah saat itu yang mendukung langsung pengembangan peternakan ayam ras.

Perikanan, khususnya udang, juga mengalami booming pada masa Orba seperti dikemukakan Sutanto Surjadjaja, Direktur PT Central Proteinaprima, Tbk. Sukses masa itu dipicu pergantian spesies dari udang windu ke vaname yang produktivitasnya berlipat kali. Peran pemerintah dulu memang terfokus pada pembangunan proyek-proyek besar sehingga kelompok usaha udang terbesar di Indonesia ini mampu membangun areal tambak raksasa di Provinsi Lampung.

Cerita gemilang itu bukan tanpa cela. Bagi petani, bisa jadi era sekarang lebih baik lantaran harga produk pertanian nyaris dilepas ke pasar. Tak ada lagi kebijakan pangan murah, sehingga mereka acap menikmati harga bagus.

Pakar dan pelaku usaha yang menulis dan diwawancarai AGRINA cenderung hanya memberikan nilai plus sedikit terhadap kebijakan era Presiden SBY. Target swasembada komoditas pangan strategis yang digaungkan belum menunjukkan hasil memuaskan. Namun, tentu kita hanya bisa menganggap kesuksesan masa Orba sebagai sejarah. Kita berharap pemerintahan yang akan datang mampu membuat lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN yang juga memuat visi jangka panjang pembangunan agribisnis dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak. Dan GBHN ini tetap dapat dilanjutkan kendati pemerintahan berganti setiap lima tahun.

Peni Sari Palupi

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain