Cita-cita pemerintah berswasembada daging sapi 2014 tampaknya semakin jauh dari berhasil. Istilah orang Minang, jauh panggang dari api. Apalagi upaya tersebut direcoki masalah nonteknis yang saat ini sedang bergulir. Jangankan kita berpikir 2014, untuk kebutuhan selama Ramadan dan Idul Fitri yang di depan mata pun pemerintah kiranya sudah menyerah.
Hitung-hitungan yang menjadi pegangan untuk mencapai swasembada ternyata meleset. Termasuk besaran penambal kebutuhan yang didatangkan dari impor (daging ataupun sapi bakalan) ditengarai terlalu kecil. Ibarat menginjak rem yang terlalu mendadak, pengetatan impor itu menciptakan gejolak harga lantaran upaya-upaya peningkatan populasi sapi di dalam negeri belum menunjukkan hasil yang nyata. Walhasil, pemerintah meminta perusahaan pelat merah seperti Bulog untuk ikut memasukkan daging sapi dari mancanegara dengan rencana volume sekitar 3.000 ton untuk mengantisipasi lonjakan kebutuhan masyarakat selama Ramadan dan Idul Fitri.
Tentu saja ini berita “buruk” bagi peternak yang dalam setengah tahun terakhir menikmati harga “gemuk”. Pun perusahaan penggemukan daging menyatakan keputusan impor daging kurang bijak. Apalagi, harga dipatok “hanya” Rp76 ribu/kg yang dalam hitungan para produsen tidak masuk. Memang, konsumen mungkin terbantu oleh patokan harga itu. Konsumen yang mana? Toh, selama ini konsumen daging sapi kelas menengah ke atas.
Terlepas dari pro-kontra antara peternak dan konsumen, apakah tambahan impor daging di luar kuota 2013 yang sebesar 32 ribu ton itu efektif menjinakkan harga pasar? Dengarlah perbincangan AGRINA dengan pedagang daging sapi di Pasarminggu, Jakarta Selatan, 6 Juli lalu. “Harga sekarang Rp95 ribu/kg untuk daging primer (Yang dia maksud adalah daging paha belakang yang mestinya termasuk daging sekunder dengan harga lebih rendah). Harga paha depan sekitar Rp92 ribu – Rp93 ribu/kg,” katanya. Dengan penuh keyakinan, ia juga menyatakan, bila harga-harga ini bertahan dalam dua-tiga hari, harga saat Lebaran bisa mencapai Rp120 ribu/kg. Dia pun tidak percaya operasi pasar mampu menurunkan harga.
Di luar itu semua, importasi, apalagi berupa daging beku, sebaiknya hanya dilakukan sebagai solusi jangka pendek. Diperlukan evaluasi jujur terhadap ketidakberhasilan program yang digaungkan sejak 1999 itu. Pun terhadap data populasi ternak yang dijadikan dasar penyusunan program, haruslah valid, dapat dipercaya, memenuhi logika teknis dan ekonomis. Penghitungan populasi diusulkan menggunakan pembaca chip. Mari kita meniru praktik di luar negeri, begitu lahir pedet, ia dipasangi chip. Jadi, ke mana pun sapi ini bergerak dapat dipantau. Tidak akan terjadi penghitungan ganda, sehingga data populasi yang dihasilkan dari sensus sapi benar-benar valid.
Setelah itu, tentunya kita berupaya meningkatkan populasi dulu sapi di dalam negeri dengan segala daya. Mulailah dari importasi betina produktif karena saat ini mesin produksi pedet ini banyak terkuras akibat melambungnya harga daging sapi. Sembari menunggu produksi pedet dari induk impor, betina produktif yang masih ada di dalam negeri juga harus diselamatkan dari pisau jagal melalui penegakan hukum ataupun pemberian insentif yang layak bagi peternak atau Badan Layanan Umum (BLU), seperti telah beberapa kali diusulkan Teguh Boediyana, Ketum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI).
Dari sisi penggemukan, kita juga semestinya mengupayakan biaya produksi bakalan yang berdaya saing. Misalnya, memanfaatkan perkebunan kelapa sawit untuk memproduksi bakalan dengan cara digembalakan. Hitungan di negeri jiran, Malaysia, biayanya mirip penggembalaan di ranch Australia. Salah satu perusahaan sawit di Kalimantan Tengah pun kini tengah berupaya mempraktikkan cara yang sama dengan Malaysia. Hasilnya cukup menjanjikan.
Namun, tentu saja pelaksanaan integrasi sawit-sapi itu harus berhati-hati. Kalangan pekebun sawit masih memandang, penggembalaan sapi di kebun sawit berbahaya lantaran berpotensi menyebarkan penyakit ganoderma (cendawan penyebab busuk akar dan batang) yang amat merugikan bagi tanaman sawit. Apalagi, pengendaliannya masih sulit. Memang, ada harapan baru dari konferensi Inapalm Asia di Pekanbaru, Riau, dengan penanaman benih moderat tahan ganoderma.
Integrasi juga bisa diupayakan dengan memanfaatkan limbah kebun dan pabrik kelapa sawit (PKS) untuk pakan. Lagi-lagi, harus memanfaatkan teknologi pakan dan pengolahan limbah sapi, kotoran ataupun urin, seperti diupayakan Prof. Ali Agus, DEA, pakar sapi potong Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta. Biaya pakan murah, peternak juga dapat pemasukan lain dari pupuk cair.
Penggemukan tak akan berjalan tanpa bakalan. Sementara bakalan produksi lokal tengah diupayakan, bantu dulu para peternak dan penggemuk dengan bakalan impor dengan jumlah terkendali.
Perbaikan kualitas sapi lokal pun dapat diupayakan dengan Inseminasi Buatan (IB). Selama ini, keberhasilan IB tidak terdata dengan baik karena tidak ada yang mengawal setelah sapi di-IB.
Jadi, berendah hatilah dengan meningkatkan produksi. Bila sukses, secara bertahap impian swasembada akan terwujud juga dengan tahapan program yang terukur.
Peni Sari Palupi