Naga-naganya, sekaranglah saat paling tepat untuk mengembalikan kejayaan teh Indonesia. Pasalnya, dulu Indonesia adalah produsen terbesar ketiga dunia, di bawah China dan India. Tapi, posisi itu terus melorot kencang.
Sempat berada di posisi lima di bawah China, India, Sri Lanka, dan Kenya dari sisi luas areal kebun dan produksi, belakangan posisi tadi direbut Vietnam, sehingga Indonesia terlempar ke tempat keenam. Tak lama, datang lagi Turki dengan tingkat produksi yang melaju pesat. Lagi-lagi, Indonesia terdorong ke peringkat tujuh.
Tentu, disayangkan bila teh negeri ini terus terpuruk. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir sejak tahun 2000, terjadi konversi 3.000 hektar (ha) tiap tahun. Akibatnya, pada 2011, berdasarkan data Dewan Teh Indonesia, areal perkebunan teh negeri ini tinggal 123 ribu ha dari 139 ribu ha.
Yang kian tergerus itu memang cenderung kebun skala kecil milik rakyat yang umumnya cuma seluas 0,3 ha hingga 0,5 ha. Kalau tak ditelantarkan karena terjerat lingkaran setan harga jual yang murah, yang berdampak tak bisa berbudidaya dengan baik, petani tergoda mengganti tanaman tehnya dengan sayur-sayuran yang harganya jauh lebih baik.
Tapi, tak berarti perkebunan besar milik negara tak melakukan konversi ini. Terus didera kerugian, beberapa perkebunan besar mengganti tanaman tehnya dengan komoditas lain yang lebih menguntungkan.
Beberapa tahun terakhir bahkan situasi menyulit. Di satu pihak, kemampuan negeri ini memproduksi dan mengekspor tehnya menurun, di lain pihak impor dari mancanegara kian meningkat. Lampu kuningkah? Jelas, karena Dewan Teh Indonesia yang dipimpin Rachmat Badruddin memang tengah gencar mencanangkan Gerakan Penyelamatan Agribisnis Teh Nasional (GPATN), demi peningkatan produktivitas dan kesejahteraan petani teh.
Kesejahteraan petani? Inilah agaknya yang perlu terpateri di hati. Menengok jauh ke belakang, perkebunan-perkebunan teh negeri ini dulu dibangun sebagai bagian dari cultuurstelsel alias tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di bawah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, pada 1830 ada kewajiban bagi tiap desa menyisihkan 20% tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor, seperti teh, kopi, atau tebu, yang harus diserahkan kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipatok.
Betapa menderitanya kehidupan petani memang akhirnya terungkap dan menggemparkan dunia akibat tulisan Multatuli (nama samaran sastrawan Belanda, Eduard Douwes Dekker) dengan bukunya Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda (1860). Melalui nama Multatuli, yang bermakna “aku yang banyak menderita”, Dekker menyatakan di situ ia tak pandai menyusun karangan. Namun, ia menulis lantang, “Aku ingin dibaca!”, karena ia hanyalah hendak menyampaikan satu hal, “Orang Jawa telah dianiaya.” Tentu, sebutan orang Jawa di situ sekarang bisa digantikan dengan orang Indonesia.
Lewat cerita romantis “Saija dan Adinda” yang mengharu-biru, yang termaktub dalam Max Havelaar itu juga, Dekker pun mampu menyentakkan dunia, termasuk bangsanya sendiri dan Raja William III yang tengah berkuasa, betapa penindasan, kesedihan, dan kemiskinan pada masa itu sungguh harus diakhiri.
Berpuluh-puluh tahun setelah setelah era eksploitatif itu berlalu, Ketua Umum Dewan Teh Indonesia saat ini bahkan masih sempat menyaksikan kala ayahnya, Badruddin, sibuk menghapus budaya feodalisme yang masih berakar di perkebunan teh yang baru dibelinya dari perusahaan Belanda. Sebutlah kebiasaan berjalan ngesot di lantai ketika berhadapan dengan pemilik kebun.
Sesaat setelah bertransaksi pada 1956, ia pun dengan mengatakan kepada karyawannya, “Sekarang kebun ini milik saya. Sama seperti Anda semua, saya dilahirkan tak jauh dari sini. Tak boleh ada lagi jalan ngesot, ayo berdiri.” Kebahagiaan sang anak kini pun hadir apabila karyawan pabriknya, termasuk para pemetik teh, tiada sungkan bercanda dengan dirinya sebagai pemilik kebun.
Teh, seperti diungkapkan Iffah Syarifah, perempuan dari komunitas Indonesia Tea Lovers, semestinya justru mendatangkan keceriaan, kesenangan. Pasalnya, teh mengandung L-theanine yang mampu menstimulasi gelombang alpha otak, yang memegang peran penting dalam mewujudkan kesehatan emosional.
Kesehatan emosional yang hadir dalam bentuk sikap sigap dan rileks ini terkait erat dengan kecerdasan emosional (EQ). Sejumlah penelitian menyebut EQ inilah yang membantu peraihan 80% dari kesuksesan. Keceriaan tadi hadir lantaran kita mampu mewujudkan hal-hal yang ingin dicapai. Demi menghargai manfaat teh, sejumlah bangsa, seperti Inggris dan Jepang, bahkan menikmati teh dengan tata cara khusus layaknya ritual agama.
Jika tekad Dewan Teh Indonesia meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani teh lewat GPATN bisa diwujudkan, tentulah keceriaan itu bakal hadir di tengah petani. Juga bagi para pemetik teh sehingga tak akan ada lagi Saija dan Adinda berikutnya.
Syaiful Hakim