Ayam (dari telur dan dagingnya) sudah diamalkan di dunia sebagai sumber pengadaan protein yang murah dan mudah. Beternak ayam (petelur dan pedaging) telah menjadi salah satu perangkat menyejahterakan rakyat, melalui asupan pangan yang berkualitas dan melalui bisnisnya menggerakkan ekonomi masyarakat setempat. Di negara-negara berkembang – termasuk Indonesia - peternakan ayam dinyatakan sebagai pendekatan jitu untuk mengentaskan kemiskinan. Poultry juga menjadi pemimpin sektor peternakan karena paling rendah potensi menjangkitkan pemanasan global (Global Warming Potential-GWP) dibandingkan peternakan lain (sapi, babi, domba). Di Indonesia, peternakan ayam sudah menyebar mulai dari pekarangan rumah sampai ke industri besar.
Tapi akhir-akhir ini bisnis ayam dihadapkan pada dilema. Di satu sisi harus menjamin pemenuhan suplai untuk konsumen, di lain sisi harus memasang harga berdasarkan ongkos produksi yang nyaris seluruh unsurnya barang impor. Jagung dan bungkil kedelai mencapai 75% bahan pakan ayam pedaging dan 85% ayam petelur. Ongkos produksi ayam ini harus pula ditambahkan dengan hitung-hitungan atas bibit dan obat-obatannya yang juga diimpor. Maka Dr. Budi Tangendjaja, profesor riset dari Balitnak Ciawi, Bogor, berujar, “Lebih baik kita mengimpor jagung dari Amerika, atau impor daging ayam?”. Harap diketahui tahun lalu kita mengimpor jagung sampai 1,4 juta ton.
Nah, jagung dari Amerika, bungkil kedelai dari Amerika, DOC pun bibitnya dari Amerika. Unsur ongkos dalam negeri hanya biaya buruh dan biaya bangun kandang. Tapi yang memakan biaya paling besar adalah pakan, bibit, dan obat-obatan itu. Wajar bila harga kita jatuh lebih mahal. Tapi Budi, dan tentunya juga para pelaku bisnis poultry menentang impor daging ayam karena peternak kita sudah bisa produksi sendiri. Kalau dibanjiri daging ayam dari luar, maka peternakan Indonesia bakal gulung tikar.
Poultry Indonesia sedang mengalami masalah berat, terutama oleh ketergantungan bahan baku pakan dari luar itu. Negara-negara penghasil jagung menahan pasokannya, bukan saja untuk bio-fuel, tapi juga oleh kekhawatiran panen tekor akibat perubahan iklim. Kebijakan ad-hoc ditempuh pemerintah Indonesia dengan menunda bea masuk bahan baku pakan selama satu tahun. Ini untuk menekan ongkos produksi dan tentunya juga untuk membentuk harga yang tidak terlalu memberatkan konsumen. Masalah lain adalah menjauhkan breeding farm dari ancaman penyakit. Virus H5N1 yang memicu flu burung lima tahun lalu dan mewabah sampai ke 63 negara tetap harus diwaspadai. Untuk Jakarta sudah ada Perda No 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas, tapi sampai sekarang belum bisa diberlakukan. Otoritas veteriner kita belum cukup efektif dan berwibawa.
Di tengah krisis bahan baku pakan dan upaya mengefektifkan pengendalian penyakit, ancaman nyata juga muncul berupa penyelundupan daging, seperti ratusan ekor ayam hidup dan puluhan ton daging ayam dari Malaysia Timur yang setiap hari leluasa melewati perbatasan masuk ke Kalimantan Barat. Daging ayam beku dan chicken leg quarter dari Amerika dan lain-lain negara juga mencari celah untuk menyusup ke pasar dalam negeri kita. Termasuk penyelundupan meat bone meal untuk bahan pakan ternak, tanpa bisa dijamin apakah MBM itu aman dari penyakit sapi gila.
Menjamin ketersediaan ayam dan telur dengan harga terjangkau bagi konsumen kebanyakan adalah dengan membangun kemandirian yang berkelanjutan. Masalah pertama di depan mata, masihkah tersedia lahan untuk menanam jagung besar-besaran? Rencana pengembangan food estate di pulau-pulau luar Jawa sebenarnya tepat untuk menghasilkan kecukupan bahan pakan seperti jagung itu.
AGRINA edisi ini menampilkan sejumlah tokoh kompeten tentang perunggasan, mulai dari ilmuwan peneliti sampai pelaku usaha besar serta peternak rakyat mandiri, membicarakan permasalahan chicken food chain – mata rantai ketersediaan telur dan daging ayam mulai dari kandang sampai ke pinggan. Tentang swasembada yang ditopang emandirian bahan pakan, bibit, dan obat-obatan. Tentang pencegahan penyakit dengan pemberlakuan regulasi dan persyaratan hygiene. Tentang infrastruktur, transportasi, integrasi industri.
Daud Sinjal