Minggu, 16 Januari 2011

Tentang Pasal 100 dan 131 UU 13/2010

Undang-Undang Hortikultura telah disahkan pada 26 November 2010. UU No.13 hasil inisiatif DPR ini (kendati teknisnya mulai dari outline sampai rumusan finalnya dilakukan orang-orang Kementerian Pertanian) disambut baik karena memberikan bekal hukum  dan mengatur tentang Good Agricultural Practices, Good Handling Practices kepada pelaku usaha hortikultura, yang besar, menengah maupun yang kecil. Namun ada pasal- pasal dalam UU itu yang memicu kontroversi, yakni Pasal 100 dan Pasal 131. Pasal ini menentukan, empat tahun ke depan pihak asing yang berinvestasi untuk industri benih di Indonesia hanya diperkenankan menguasai saham 30%.

Dengan ketentuan ini, perusahaan benih PMA sudah berkiprah di sini mau tidak mau harus mendivestasikan sahamnya sampai sebesar 70%. I Nyoman Buana dari Vegetable Division Monsanto, perusahaan asal Amerika, menggambarkan betapa perusahaan industri benih yang sarat modal dan teknologi, yang sudah mencurahkan biaya sangat besar untuk penelitian dan pengembangan, begitu datang ke Indonesia, mendapat dirinya sebagai pemegang saham minoritas dan harus merelakan hasil risetnya ke pihak lain. Afrizal Gindow dari PT East West Seed Indonesia (EWSI), mengkhawatirkan perusahaan multinasional akan hengkang ke Vietnam, Thailand, dan Filipina yang pasarnya sama besar, tapi aturannya lebih longgar.

Inovasi jadi terhambat karena sejumlah varietas baru yang sudah dijanjikan untuk dikembangkan di Indonesia, akan ditunda. Untuk 2011 ini, East West sebenarnya sudah berancang-ancang menggelontorkan US$2 juta - US$3 juta bagi pengembangan bisnis bawang merah. "Tapi dengan aturan baru ini semua kami tahan," kata Glenn Pardede, Deputy Managing Director EWSI.

Harus diakui dari sekitar 115 perusahaan benih buah dan sayuran di Indonesia, perusahaan modal asing masih menguasai sampai 70% pangsa pasar. Salah satunya, EWSI milik Belanda yang sudah 20 tahun berbisnis hortikultura di sini, menguasai 45% pasar benih hortikultura nasional. Produsen benih berlabel Panah Merah tersebut menguasai 75% pasar benih tomat, 60% benih cabai, dan 60% benih mentimun.

Kita tidak boleh menyanjung-nyanjung pencapaian swasembada pangan, dalam konteks ini swasembada sayuran dan buah-buahan, apabila masih tinggi ketergantungannya akan benih. Kemandirian benih sudah harus terbangun dari awal. Sudah menjadi prioritas dan dikawal secara konsisten dari pemerintahan ke pemerintahan. Kalau Belanda menjadi salah satu penguasa benih hortikultura di dunia, itu berkat hasil riset dan temuan teknologi terus-menerus, bahkan tradisinya ditumbuhkan sejak mereka masih bercokol di Nusantara. Thailand, Taiwan, Jepang, Korea, China  juga menjadikan penelitian dan penciptaan. Sebagai prioritas, Siswono Yudo Husodo, kini anggota Komisi IV DPR, mengingatkan, peningkatan produksi pertanian paling signifikan di dunia dicapai melalui teknologi benih dan pupuk.

Menjadi pertanyaan penting, apakah dalam tempo empat tahun kita sudah benar-benar punya kekuatan untuk  mandiri dan mampu memenuhi permintaan benih untuk petani. Termasuk benih cabai yang sempat bikin kalang-kabut pedagang dan konsumen itu. Apakah tidak kemudian terjadi kemandekan kalau perusahaan perusahaan asing itu “cikar kanan” cari negeri lain?  Petani mengalami kelangkaan benih karena perusahaan benih lokal belum sepenuhnya siap. Terpaksa dilakukan impor, yang melencengkan strategi perbenihan ke sekadar penyiasatan dagang.  Maka, disebabkan oleh Pasal 100 dan 131 itu, UU Hortikultura yang dimaksudkan untuk kemandirian dan kedaulatan benih nasional ini menjadi malah kontraproduktif.

Dirjen Hortikultura, Dr. Hasanuddin Ibrahim, meminta agar UU itu dibiarkan berjalan dulu. Kalau misalnya ada yang merasa dirugikan atau UU itu dianggap membahayakan, ada mahkamah yang bisa meninjau kembali pasal-pasalnya. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya akan dilaksanakan secara adil,” kata Hasanuddin Ibrahim. Harapan kita, aturan-aturan pelaksanaan yang akan mengawal UU No.13/2010 dan judicial review atas Pasal 100 dan 131-nya memberikan solusi yang memenangkan semua pihak. Mengutip Dr. Erry Sofiari, tenaga ahli Mentan bidang Pembinaan SDM, sekarang bukan zamannya lagi saling membunuh, tapi sinergi dan kerjasama.

Daud Sinjal

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain