Tepat sebulan lalu (9 November 2010), Menteri Pertanian Suswono memaparkan evaluasi setahun program kementeriannya di depan para pemimpin redaksi media massa. Di samping menyampaikan keberhasilan-keberhasilan, ia pun mengeluhkan sejumlah kendala yang menyurutkan pertumbuhan sektor pertanian, yang dikarenakan oleh faktor yang lebih banyak di luar pertanian. Tanpa dukungan sektor lain akan terjadi kemandekan pembangunan, katanya. Di antaranya, ia menunjuk keterkaitan dengan Kementerian PU, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Pertanahan Nasional.
Apa yang dikeluhkan Mentan Suswono sebenarnya soal akut, yang telah berlangsung dari pemerintahan ke kepemerintahan sebelumnya, dengan pengecualian pada masa komando yang otoriter pemerintahan Jenderal Soeharto. Pada Kongres ISEI di Manado, mantan Menteri Pertanian Bungaran Saragih juga mengingatkan bahwa sekitar 70% kegiatan usaha dan sistem agribisnis itu berada di luar pertanian. Maka, pertanian sulit maju dalam lingkungan tidak maju dan tidak mendukung. Pertanian kita terbelakang karena sektor-sektor lain pendukungnya, seperti infrastruktur, transportasi, pendidikan, perbankan, energi, tidak berkembang. “Mereka tidak bisa sinergi, bahkan menjadi beban,” katanya.
Dr. Suswono mengeluhkan, “Untuk memanfaatkan lahan telantar saja susahnya luar biasa”. BPN sudah mendata adanya 7,3 juta ha yang telantar dan menjanjikan 2 juta ha dari luas itu untuk Kementerian Pertanian. Tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda untuk bisa segera dieksekusi. Sementara itu BPN malah membagi-bagi tanah 500 m2. “Apa yang bisa dikerjakan?” Mengevaluasi kinerja pertanian, Mentan juga menyinggung soal diversifikasi pangan, yang masih memerlukan kerja keras. “Kita tiru negara tetangga yang makan nasinya terakhir. Cuma masalahnya ketika bicara nasinya terakhir, yang sebelum nasi itu ada nggak?”
Ia pun menyoroti populasi sapi yang perlu sensus demi akurasinya, penyelewengan pada PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan), LM3 (Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat), perbankan yang tidak akrab dengan petani, kekalahan UU PKH – khususnya soal zona base sapi impor - di Mahkamah Konstitusi, tentang pelaksanaan UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan yang belum didukung dengan penetapan tataruangnya di provinsi dan kabupaten. Juga tentang food estate yang kehilangan momentum, tiga juta ha perkebunan kelapa sawit rakyat yang rendah produktivitasnya, Bulog yang kurang tanggap, serta tentang penyelamatan 200 ribu ekor betina yang membutuhkan anggaran Rp1,2 triliun sampai Rp1,4 triliun.
Pertanian adalah kehidupan manusia dan penopang pertumbuhan ekonomi. Neraca perdagangan kita bagus karena ekspor hasil perkebunan. Tapi angka inflasi juga ditentukan oleh kinerja pertanian. Kegoncangan pada produksi gabah, gangguan pada pasokan telur, serta kegagalan panen bawang merah dan cabai merah, akan memicu angka inflasi. Ancaman terhadap sektor pertanian dunia adalah perubahan iklim dan untuk Indonesia ditambah dengan bencana alam. Namun di luar perbuatan alam tersebut, pencapaian sasaran utama pertanian kita ini sebenarnya masih di dalam kekuasaan manusia. Yakni penyediaan lahan, pembangunan infrastruktur, akses permodalan, pengembangan benih, pendayagunaan sumber daya manusia, pembangunan kelembagaan, serta teknologi dan inovasi.
Ketika kita bicara tentang kinerja pertanian 2010, maka akan kentara urusan ketiadaan koordinasi dan sinergi lintas sektoral itu, terutama pada ketersediaan lahan dan ancaman pengalihan lahan, pembangunan infrastruktur irigasi dan jalan, dan permodalan. Masih pula ditambah dengan regulasi yang mengekang. AGRINA edisi ini menyajikan tulisan mozaik tentang pertanian, perkebunan, perikanan 2010 dan permasalahannya. Tentang agribisnis sapi potong, tentang pasokan DOC yang tersendat. Tentang nila yang makin favorit tapi ada juga yang ditolak pasar setempat hanya karena penampilan. Tentang lahan yang ditanami satu jenis saja tanaman pangan, untuk meminimkan risiko kerugian jika cuaca tidak menentu, tentang perkebunan sawit rakyat, serta tentang agribisnis cabai merah yang menghadapi masalah berat karena serangan penyakit antraknosa dan phytophthora, bersamaan dengan gangguan iklim.
Daud Sinjal