Pasar, apa pun istilah yang dicantolkan padanya, tradisional, tradisional dengan kemasan modern, atau segar, adalah ujung tombak dari trisula agribisnis: produktivitas-keuntungan petani-ketersediaan kebutuhan konsumen. Pasar adalah pertemuan antara supply and demand, dalam ukuran pemerataan kesejahteraan, ia mempertemukan penyediaan kebutuhan konsumen dengan produk yang baik dan harga terjangkau, pendapatan yang idealnya menguntungkan bagi petani, dan kegiatan pembangunan pertanian yang terus berlanjut, bahkan mestinya pendorong untuk berputar lebih kencang.
Maka, manakala kita kembali berbicara tentang pasar, alangkah jitu apa yang diingatkan oleh Susono Hadinugroho, General Manager Pasar Induk Puspa Agro Jawa Timur, bahwa kebijakan kita terhadap pasar bak “buruk muka kaca dibelah”. Pemerintah sibuk membuat aturan membatasi pasar modern, supermarket, hypermart, minimart. Melarang-larang Alfamart, Indomaret. Padahal, seharusnya seluruh pasar tradisional yang diperbaiki. Bikin sebagus Alfamart. Dengan perbaikan pasar tradisional, ditunjang fasilitas yang memadai, terbuka accessibility lebih tinggi bagi petani dan pedagang kecil untuk berjualan.
Tentang accessibility pemasaran pertanian, AGRINA juga sudah berulangkali menekankan tentang sarana dan prasarana, terutama tentang transportasi dan pergudangan. Tanpa transportasi memadai, hasil panen akan mubazir dan membusuk. Transportasi yang buruk menimbulkan kesenjangan luar biasa antara harga di tingkat petani dengan harga di pasar kota dan supermarket. Ketersediaan konsumsi menjadi tersendat, merusak bahan untuk industri olahan/manufaktur, mengecilkan pendapatan petani, dan mematikan daya untuk meningkatkan produksi.
Elastisitas ongkos pemasaran dengan produktivitas pertanian sangat diperhitungkan rasionya dari pengangkutan. Tentunya termasuk jalan-jalan beraspal atau permukaan keras sampai ke tepi sawah ladang. Dan untuk negara kepulauan seperti Indonesia, termasuk pula prasarana pelabuhan, pergudangan, kapal-kapal pelayaran antar-pulau, rantai bilik pendingin. Pasar adalah gardu depan tempat faktor-faktor pendukung mutlak tadi berjajar di belakangnya.
Pasar tumbuh bersama tuntutan kebutuhan masyarakat serta kondisi dan daya dukung lingkungan sekitarnya. Ada pasar lokal/pasar desa, ada pasar menurut jenis barang, ada pasar terapung/pasar sungai seperti di Musi, Siak, Barito, Mahakam. Kini ada pasar yang tidak berujud fisik karena transaksi dilakukan lewat internet. Pasar juga berkaitan dengan selera, daya beli, dan gaya hidup. Maka ada pasar tradisional, pasar segar, pasar modern, super-market. Di pasar tradisional boleh tawar-menawar, boleh beli ketengan, bahkan boleh “bayar besok”. Yang disebut pasar modern di Bumi Serpong Damai atau fresh market di Kota Wisata Cibubur sebenarnya adalah pasar tradisional yang dikemas modern. Bangunan dan aturan manajemennya dibuat modern, tapi hubungan antara pedagang dan pembeli masih “akrab” seperti di pasar tradisional.
Namun di atas itu semua adalah bagaimana kita membangun gairah pasar dalam negeri di mana hasil bumi dan produk olahan sendiri yang menjadi pengisinya. India membangun budaya pasar rakyat untuk meneguhkan ekonomi kerakyatannya di tengah-tengah gedoran-gedoran pasar global. Ia membangun jalan beraspal yang menghubungkan semua desa berpopulasi 6.000 jiwa. Jalan yang sambung menyambung dan menjalin keterkaitan antar-desa itu membentuk pasar-pasar desa, dan pada gilirannya membentuk jaringan pasar rakyat secara nasional. Rakyat berjualan dan berbelanja hasil bumi sendiri. Indonesia dengan 230 juta rakyat adalah juga pasar domestik yang besar. Menghidupkan pasar rakyat bisa membangkitkan gairah bisnis para petani. Menjadikan mereka petani-pedagang. Jenis dan bentuk pasar boleh macam-macam, tradisional atau segar atau modern. Tapi menjadikan pertanian dan produk industrinya tuan di pasar domestik tetap saja menuntut kesiapan transportasi, yang tidak hanya dengan jaringan jalan mulus, perhubungan laut, pergudangan, rantai pendingin, tapi juga dengan pemberlakuan tarif bawah bagi ongkosnya.
Daud Sinjal