Saat ini total areal kelapa sawit Indonesia sudah di atas 7 juta ha, dengan perkebunan rakyat menguasai proporsi terbesar, 46,3% (diikuti perkebunan swasta 43%, dan perkebunan negara 10,7%). Terjadi perkembangan perkebunan rakyat yang luar biasa pada dekade terakhir, yakni lebih dari 2 juta ha. Dari 1,04 juta ha pada 1999 menjadi 3,3 juta pada 2009. Ada suatu ingatan telak yang dikemukakan Prof. Bungaran Saragih pada seminar kelapa sawit yang diselenggarakan Sinar Harapan pertengahan Juli lalu, perkembangan kebun sawit rakyat yang luar biasa itu terjadi pada masa Indonesia dalam kondisi krisis moneter dan ekonomi.
Saat dilanda krisis moneter, industri kelapa sawit menjadi sumber pertumbuhan penting dalam perekonomian Indonesia, khususnya di luar Jawa. Ia menciptakan pemerataan ekonomi dan mengembangkan ekonomi regional. “Perkebunan kelapa sawit rakyat ini berkembang tanpa bantuan pemerintah dan hampir tidak ada dukungan perbankan,” kata Bungaran. Ironisnya lagi, penentu survival ekonomi nasional itu didapat dari perkebunan sawit rakyat yang sebagian besar tanamannya tua renta, yang produktivitasnya rendah.
Pemerintah memang telah mencanangkan revitalisasi perkebunan untuk mengangkat produksi kelapa sawit. Sejak diluncurkan program kredit revitalisasi perkebunan pada 2007 hingga 2009, realisasi untuk usaha perkebunan kelapa sawit lebih dominan ketimbang tanaman kakao dan karet. Fokus revitalisasi pada kelapa sawit berbasis tanaman rakyat karena sekitar 36%—37% produksi total nasional kelapa sawit merupakan sumbangan petani/pekebun rakyat.
Namun apakah revitalisasi ini mengena pada perkebunan sawit rakyat independen, mengingat 69,2% dari 1,3 juta KK pelaku perkebunan sawit rakyat adalah petani mandiri, masih perlu dipertanyakan. Petani independen atau mandiri atau swadaya adalah mereka yang tidak ikut skema PIR (perkebunan inti-plasma) dengan perusahaan perkebunan swasta besar atau BUMN.
Buat petani rakyat mandiri, kelapa sawit di luas lahan 2 ha itu adalah gantungan nafkah utama. Kalau dilakukan peremajaan, mereka harus menunggu setidaknya tiga sampai empat tahun sebelum tanaman baru itu bisa dipanen. Petani kecil tidak punya tabungan untuk ongkos replanting. Kalau pun berhasil dapat pinjaman, penghasilan dari lapangan lain itu sebagian besar untuk membayar bunga pinjaman. Dilemanya: ikut peremajaan berarti investasi sekaligus bangkrut dan kehilangan sumber nafkah. Tidak ikut peremajaan berarti membiarkan sumber itu pupus dengan sendirinya.
AGRINA edisi ini menyorot petani/pekebun sawit rakyat swadaya ini. Sejumlah masalah menghadang tegaknya kemandirian mereka. Mulai dari lahan terbatas yang letaknya berpencaran dan jauh dari jalan raya, suku bunga kredit tinggi, pengurusan sertifikat tanah di BPN untuk jaminan kredit, avalis, sampai siasat mencicil angsuran bank sambil menunggu panen dari sawit itu sendiri dengan menanam tanaman pangan semusim seperti jagung. Juga dikemukakan tentang jalan keluar seperti bikin dulu sertifikat-bayar belakangan, serta pemanfaatan dana yang terkumpul dari pungutan ekspor (PE) kelapa sawit untuk dikembalikan sebagai bantuan bagi petani.
Dengan peremajaan, benih bermutu, pemupukan, praktik berkebun yang benar, yang disertai kemudahan-kemudahan oleh pemerintah, kelapa sawit rakyat yang menyumbang devisa, menurunkan kemiskinan, memberi lapangan kerja, bakal berperan lebih berarti lagi. Bungaran meyakini, dengan proporsi luas perkebunan rakyat 46,32% saat ini dan lajunya perkembangannya yang relatif tinggi, masa depan minyak sawit Indonesia ada di tangan kebun rakyat itu.
Masa depan itu sudah kelihatan karena kelapa sawit tetap saja memberi kabar gembira. Seperti yang disampaikan Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Asmar Arsjad, bahwa permintaan dari luar naik 10% dan harga bulan depan mencapai US$1.000 per ton, naik US$50 dari beberapa bulan sebelumnya. Lalu Dr. Edi Premono, Direktur PT Saraswanti Anugrah Makmur, produsen pupuk dari Sidoardjo, Jatim, mengatakan, persaingan bisnis pupuk untuk sawit cukup ramai. Saat ini, banyak perusahaan besar BUMN dan swasta berinvestasi mendirikan unit produksi baru atau meningkatkan kapasitas produksinya, khususnya pupuk majemuk NPK untuk sawit.
Daud Sinjal