Kendati terganggu anomali iklim, El Nino, bencana banjir, kekeringan (dan di Indonesia masih ditambah hama wereng), toh produksi beras dunia tahun ini masih meningkat. Ini berkat panenan yang lumayan di India dan China. Tapi kok harga beras melonjak? Ini karena tiga miliar manusia bersaing untuk mengonsumsi dan menyangga stoknya di tengah-tengah iklim yang bakal tetap kacau sampai 5-10 tahun ke depan. Karena beras dipasok untuk korban bencana alam. Karena rehabilitasi 220-an lahan padi beririgasi dan daerah aliran Mekong (yang mengairi lahan lima negara penghasil beras) masih makan waktu. Karena Rusia menahan gandumnya untuk keperluan sendiri. Karena dua negara penghasil sekaligus pemakan beras terbesar – India dan China – menutup ekspornya sebagai antisipasi terhadap semua “karena” yang disebut tadi.
Indonesia adalah anggota dari tiga miliar masyarakat dunia pemakan beras. Bagian dari negara-negara penghasil 90% beras dunia. Kita berada dalam pusaran penawaran dan permintaan komoditas yang sangat dinamis. Dinamis karena turun naiknya produksi yang sangat bergantung pada alam dan jumlah manusia yang bergiat secara fisik di dalamnya. Dinamis oleh perlombaan dengan laju pertambahan penduduk. Dinamika ini mendorong spekulasi pasar dan harga. Buat Indonesia dan negara-negara demokrasi lainnya yang miskin, beras bukan hanya urusan ketahanan perut, tapi juga kestabilan kekuasaan politik. Pemberontakan digerakkan oleh perut kosong. Harap dimaklumi pula bahwa 60% dari satu miliar rakyat dunia yang miskin dan rawan pangan berada di Asia dan beras adalah satu-satunya pilihan makanan utama mereka.
Di Indonesia beras dibicarakan dalam “dua bahasa”. Bahasa pemerintah dan bahasa lapangan. Bahasa pemerintah adalah seperti yang disampaikan oleh Menteri Pertanian bahwa kita surplus beras sampai 5 juta ton dan aman sampai akhir tahun. Para gubernur dan Badan Pusat Statistik juga menyatakan kita surplus. Kendati ada laporan lapangan tentang kelainan iklim yang mengakibatkan banjir atau kekeringan serta gangguan hama, yang menyusutkan produktivitas tanaman padi. Rasanya baru kemarin, Menteri Pertanian, termasuk Menteri Pertanian sebelumnya menyatakan tidak usah impor, dan sebaliknya berniat untuk mengekspor. Bahasa lapangan adalah kenyataan yang dihadapi petani, pedagang, dan publik konsumen.
Lalu mengapa bersamaan dengan gembar-gembor surplus beras, kok harus mengimpor?
Ketua Umum KTNA, Winarno Tohir, bilang perlu dicek kembali data produksi dengan keputusan impor karena sangat bertolak belakang. Sebab berdasarkan data Aram II produksi saat ini adalah 65,15 juta ton gabah kering giling, yang berarti bisa menjadi sekitar 41 juta ton beras. Menurut data Kementerian Pertanian ada sekitar 40,88 juta ton beras. Nellys Soekidi, pedagang beras di Pasar Induk Beras dan Palawija Cipinang, mengatakan masyarakat Indonesia mengonsumsi beras hanya sekitar 32,5 juta ton setahun. Berarti ada surplus, dan itu bisa dijadikan buffer stock sehingga tidak perlu mengimpor. Cadangan yang cukup aman itu mencegah permainan kaum spekulan. Mohamach Abdoulah, Direktur PT Vietindo Jaya, mengatakan, “Pak Presiden, Pak Menteri, Pak Gubernur ‘kan ngomong ada surplus. Kenyataannya stok nasional nggak ada. Itu ada di luar. Sedangkan pemerintah nggak ada megang stok. Akhir tahun tinggal dua bulan, sehingga harus impor”.
Kalaulah benar apa yang dibahasakan pemerintah, maka akan kentara negara ini sebenarnya tidak punya sistem logistik nasional, tidak menguasai supply chain management. Beras hasil panen ada di beberapa tempat, tapi tidak bisa segera dikumpulkan untuk dijadikan cadangan. Lalu kalau ada gubernur yang enggan mengantar-pulaukan beras surplusnya, adalah untuk cari aman, daripada sulit mendapatkannya kembali saat diperlukan dalam keadaan darurat.
Sistem logistik nasional untuk negara kita sangat krusial. Penyaluran bantuan makanan saat terjadi bahaya kelaparan di luar Jawa seringkali tersendat. Pelayaran antar-pulau kita dikuasai perusahaan-perusahaan pelayaran asing. Jalan-jalan dari sentra produksi ke pelabuhan tidak memadai. Tidak didukung dermaga-dermaga dan pergudangan serta silonya. Logistik nasional bisa juga berupa desentralisasi lumbung-lumbung pangan yang merata di semua daerah.
Daud Sinjal