Olimpiade Beijing 2008 adalah ajang pemasaran bebek terbesar sepanjang sejarah. Kelezatan “peking duck” lekat di lidah dan ingatan ribuan atlet dunia yang berlaga di olimpiade itu. Bebek panggang adalah makanan yang paling diserbu para olahragawan dan ofisial. Lalu, di luar perkampungan atlet mancanegara, seluruh rumah makan di Beijing selama pekan olimpik juga diwajibkan menyediakan bebek. Perkara mana-mana yang rasanya benar-benar asli “bebek peking”, itu urusan nanti.
Hidangan itik sudah merambah dunia, melangkah cepat di belakang ayam. Di Indonesia, bebek tadinya dipentingkan telurnya untuk dijadikan telur asin. Populasi itik di Indonesia kini meningkat signifikan. Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhannya rata-rata 9% per tahun. Dari 32,57 juta ekor pada 2004 menjadi 42,09 juta ekor tahun silam. Kegemaran makan bebek meningkat dan meluas dengan pesat, namun karena pasokannya kurang cepat, bebek petelur pun ikut dipotong. Akibatnya harga telur bebek melonjak tajam.
Drh. Jayadi, Direktur Budidaya Ternak Non Ruminansia (BTNR), Ditjen Peternakan, dalam percakapan dengan AGRINA, menyerukan bebek dijadikan primadona dalam sistem peternakan nasional dengan mengutamakan sumber daya lokal. Ia pun mengingatkan konsekuensi yang menimpa ayam, yang selama sepuluh tahun terakhir ini mengimpor sarana produksi (meliputi bibit, bahan baku pakan, dan obat-obatan) senilai Rp110 triliun. Padahal jumlah rumah tangga usaha ayam lokal 852 ribu, sementara jumlah rumah tangga usaha ayam ras untuk broiler 63.000 dan ras petelur 42.000. Rumah tangga usaha ayam lokal jauh lebih dominan, tetapi mereka kalah dalam skala usaha.
Masyarakat penggemar bebek maupun rumah-rumah makan penjualnya akhir-akhir ini mengeluhkan makin terbatasnya pasokan unggas itu. AGRINA dalam tiga penerbitannya pada 2008 dan 2009 sudah menulis tentang keluhan ini. Masalah utamanya adalah kelangkaan bibit, baik yang lokal maupun day old duck (DOD) impor. Namun Direktur BTNR itu mengisyaratkan agar bisnis bebek tidak mengulangi apa yang terjadi pada ayam. Akibat ketergantungan pada bibit impor, bibit lokal tidak berkembang. Lalu eksesnya pada bahan pakan impor yang menyesuaikan dengan bibit impor. Bahan lokal tidak dilirik. Tiada pula kebijakan yang mengangkat sumber daya lokal. AGRINA juga telah menulis tentang pengembangan bebek unggul lokal atau persilangan, yang lebih tahan terhadap penyakit dan produktivitasnya lebih tinggi.
Perkembangan kesadaran masyarakat akan kesehatan sudah melirik pada peternakan organik dan berbasis sumberdaya lokal. Masyarakat dunia maju pun sudah menyuarakan tentang peternakan yang tidak menyiksa sesama mahluk hidup ciptaan Tuhan. Bebek dan angsa tidak boleh dikurung dan dijejali makan secara paksa. Ayam dan itik harus dibiarkan berkeliaran sekitar kandang. Apa bedanya dengan pemeliharan bebek atau ayam bukan ras di kampung-kampung kita?
Mengembangkan bisnis bebek peking dengan DOD impor atau usaha pembibitannya tetap bisa diadakan. Dengan ikutannya pabrik pakan dan sarana produksinya yang bahan bakunya juga diimpor. Penggemar bebek peking itu memang masyarakat kelas atas. Namun baik bebek impor maupun lokal sudah menjadi favorit banyak masyarakat Indonesia. Bebek peking atau entok lokal masing-masing punya lapisan penggemar. Entok lokal yang dipelihara secara tradisional ini pun tidak kalah kelezatannya. Kendati produksinya ditangani rumah tangga, individual atau kelompok secara organik, tapi karena berbasis sumber daya lokal, harganya tetap bisa murah.
Bebek punya prospek besar. Kendala utamanya adalah pembibitan, infrastruktur, akses pendanaan. Mumpung belum menggurita, pemerintah perlu mencermati kebijakan yang melindungi bisnis ini, menyeimbangkan pengembangannya antara yang berbasis bibit unggul lokal dengan dukungan sumberdaya lokal dan yang dari impor. Porsi DOD dan sarana produksinya berbahan impor hanya pelengkap terhadap kekurangan produksi lokal atau melayani segmen elite. Peternakan skala besar bebek peking dengan pabrik-pabrik pakan dan obat-obatannya boleh ada. Tapi pemandangan “ngangon” bebek di pematang sawah atau pekarangan rumah tetaplah menjadi lukisan besar pedesaan kita. Kedua ras itik itu sama-sama mengemban penyediaan protein untuk segenap lapisan masyarakat Indonesia.
Daud Sinjal