“Produk ternak yang kehalalannya diragukan lebih baik dilarang impor. Untuk sementara penuhi dari dalam negeri sekalipun akan terjadi kenaikan harga. Dan kenaikan harga produk ternak akan berdampak positif terhadap kenaikan produksi ternak di dalam negeri dalam,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Belakangan ini muncul isu tentang pemalsuan sertifikat halal terhadap produk ternak yang kita impor. Apakah hal tersebut pernah terjadi sebelumnya?
Persoalan sertifikat halal bukan hal baru pada dunia peternakan. Pada waktu yang lalu saat saya menjabat Menteri Pertanian, juga mengalami isu halal, khususnya produk unggas, yaitu rencana importasi chicken leg quarter (CLQ) dari Amerika Serikat. Sampai-sampai kita harus mengirim petugas untuk melakukan investigasi ke sana sehingga ada pengusaha di Amerika Serikat yang tersinggung. Saat petugas kita berdialog dan melontarkan pertanyaan, “Apakah Anda memiliki sertifikat halal?” Pengusaha yang tersinggung tadi menjawab, “Anda butuh berapa sertifikat halal, kita bisa buatkan.” Rupanya sertifikat halal bisa dibuat-buat saja.
Memang tidak semua, tapi banyak pengusaha di sana tidak mengerti pentingnya sertifikat halal bagi masyarakat muslim di Indonesia yang menganggap bahwa kehalalan produk merupakan hal yang sangat serius. Barangkali karena di sana mereka bukan penganut kepercayaan itu, maka mereka tidak bisa membayangkan bahwa praktik kehalalan itu wajib hukumnya bagi konsumen muslim di Indonesia. Barangkali juga mereka mempunyai kesan bahwa sertifikat halal tersebut hanyalah soal syarat administratif belaka.
Bagaimana dengan kejadian yang sekarang?
Hasil investigasi ke sana, kita meminta agar sertifikasi kehalalan produk unggas yang akan diekspor ke Indonesia untuk dievaluasi kembali. Belajar dari pengalaman itu, mungkin masalah kehalalan pada produk unggas sama dengan masalah sertifikasi kehalalan untuk produk-produk yang berasal dari ternak besar. Tapi sertifikat halal untuk produk-produk jeroan ternak besar, saya duga jauh lebih sulit daripada sertifikasi kehalalan untuk produk ternak besar utama, yaitu daging.
Sertifikat halal di negara yang tidak 100% melakukan penyembelihan ternak sesuai hukum kehalalan, maka akan kesulitan menjamin produk yang dihasilkannya halal, terutama dalam hal pascapenyembelihan dan tempat penyimpanan. Produk yang proses penyembelihannya dilakukan secara halal dan tidak halal bersama-sama dalam satu ruang pelayuan dan tempat penyimpanan. Hal itu sangat besar kemungkinannya tercampur sehingga secara keseluruhan produk ternak tersebut menjadi tidak halal.
Apalagi jeroan bukan merupakan produk utama di sana, maka ada kemungkinan yang disembelih secara halal akan tercampur dengan yang tidak halal. Dari segi jumlah, jumlah jeroan yang akan dimanfaatkan sangat sedikit. Jika kebutuhan atau permintaan akan jeroan dalam jumlah besar, maka dapat saja terjadi jeroan dikumpulkan dari berbagai rumah potong hewan (RPH) baik yang melakukan proses halal maupun tidak. Sehingga kemungkinan tercampur menjadi lebih besar lagi.
Dari kenyataan saat ini bahwa sertifikat halal yang dikeluarkan lebih sedikit daripada jumlah yang dikirim ke Indonesia, maka hal itu menunjukkan bagi mereka sertifikat halal hanya hal administratif. Sedangkan bagi Indonesia praktik halal justru lebih penting daripada sertifikasi halal saja. Barangkali sudah masanya juga kita minta tinjau ulang mengenai proses dan prosedur sertifikasi kehalalan produk-produk jeroan secara khusus yang diekspor ke Indonesia.
Jadi kita tidak hanya minta sertifikasi kehalalan untuk produk-produk utama ternak yakni daging saja, tapi juga terhadap produk-produk jeroan. Dan kita tidak perlu segan-segan meminta ini karena jika kita ingin mengekspor produk-produk agribisnis Indonesia, seperti kakao, karet, dan produk perikanan, ke sana juga mereka menetapkan berbagai persyaratan.
Jika kita melarang impor, mungkin akan terjadi kekurangan di dalam negeri?
Jika kehalalannya diragukan, lebih baik dilarang impor sampai kita tidak ragu. Hal itu karena kehalalan lebih penting daripada ketersediaan barang bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar umat muslim. Memang hal tersebut dapat membuat harga jeroan di dalam negeri akan naik, demikian juga produk akhirnya seperti bakso juga akan naik harganya. Namun dengan naiknya harga, produksi ternak sapi di dalam negeri dalam jangka panjang juga akan meningkat.
Apakah hal itu tidak dituduh sebagai non tarif barier?
Bisa saja demikian, tapi buat kita sebagai negara berdaulat dengan penduduk mayoritas Islam, maka kehalalan adalah persyaratan yang tidak bisa ditawar-tawar. Dan persyaratan kehalalan itu sudah diakui oleh konvensi-konvensi internasional. Jadi, kita tidak mengada-ada.
Sebenarnya praktik yang sama juga sudah dilakukan negara lain terhadap produk agribisnis kita dengan berbagai macam alasan. Petani dan eksportir kita harus memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan itu jika mau mengekspor produk ke negara itu.
Untung Jaya