Ramadhan tinggal tiga minggu lagi. Itulah bulan ketika keluarga-keluarga Indonesia memamerkan kebolehannya memasak. Kunjungilah “festival makanan” yang digelar setahun sekali di alun alun atau ruang terbuka di kota-kota di Nusantara kita. Tengoklah sajian aneka lauk-pauk dan kudapan unik yang sepertinya hanya boleh dimunculkan di bulan penuh rahmat itu. Mendadak ibu-ibu menjadi lebih kreatif memasak dan berbisnis makanan serta kue basah dan kue kering. Pasar bahan pangan selalu bergolak pada bulan itu, terutama cabai merah, tepung, gula, telur, daging.
Khusus pemenuhan kebutuhan akan daging sapi, maka ketersediaan sapi potong harus terus disiapkan, karena seperti dikatakan Dayan Antoni PA yang 20 tahun berkecimpung di bisnis sapi “masuk Ramadan dan Lebaran, kebutuhan daging segar bisa dua kali lipat. Itu terjadi secara nasional. Kebiasaan masyarakat dari yang tidak makan daging, lalu makan. Yang makan sekilo, jadi dua kilo”. Setelah Idul Fitri, masyarakat Indonesia akan menyambut lagi Idul Adha yang memerlukan puluhan hewan ternak untuk kurban. Berikutnya Natal dan Tahun Baru menjelang. Sebagai pelaku pasar, para pebisnis sapi potong sadar benar tentang natur ini. Dengan pengamatan jeli, mereka dari sekarang (bahkan beberapa bulan sebelumnya) sebenarnya sudah menghitung kemampuan untuk memenuhi pergerakan pasar itu. Namun dalam bulan bulan persiapan ini, situasi yang ganjil menghadang.
Keganjilan itu adalah tentang ukuran ketersediaan yang mengacu pada proyeksi pasar, yang adalah “das sein”, dihadapkan pada ukuran ketersediaan yang harus mengacu pada target swasembada, yang masih “das sollen”. Ukuran dari pelaku usaha berdasarkan perhitungan cermat dan kenyataan realistis di lapangan, dan untuk masalah ini mereka punya back up untuk meresponsnya. Di sisi lain pengatur kebijakan yang menargetkan ketercukupan daging demi citra swasembada kurang berhitung faktor pendukung (terutama dari daerah daerah) untuk konkretisasi pencapaiannya.
Berdasarkan proyeksi pemerintah, untuk 2010 ini pasokan daging sapi dari impor hanya boleh 38%, sedangkan pasokan lokal 62%. Dari impor itu, 18% berupa daging (74.000 ton termasuk jeroan), dan 20% sapi ekuivalen 80.000 ton (180 kg per ekor termasuk jeroan) setara 450 ribu ekor. Dalam enam bulan pertama (sampai Juni), realisasi impor daging sudah 57.000 ton, realisasi impor sapi 270 ribu ton. Menaati patokan pemerintah, maka untuk semester kedua, tinggal disisakan 17.000 ton daging dan 180 ribu ekor sapi yang boleh diimpor. Semester pertama saja sudah melahap 57.000 ton daging impor. Bagaimana impor yang dibatasi 17.000 ton bisa memenuhi permintaan di semester kedua ini yang melonjak pada bulan Puasa, Idul Fitri, Idul Adha, dan bersambung sampai Natal, Tahun Baru?
Pemenuhan kekurangan ini dengan sapi lokal masih diragukan, diperkirakan hanya bisa disanggupi 50%. Malah stok yang ada di feedlot anggota-anggota Apfindo cuma 140 ribu ekor. Dari jumlah itu, akan dilepas 40.000 ekor untuk Juli, 40.000 ekor Agustus, dan 60.000 ekor September. Berarti setelah Puasa dan Lebaran, stok Apfindo habis. Sementara pasokan sapi dari peternak-peternak di daerah belum bisa dipastikan, bukan saja soal keberadaan dan jumlah populasinya, tapi juga sikap penguasa daerah untuk merelakan transhipment-nya. Di tengah-tengah perkembangan ini, ada pertanda bahwa pemerintah menyiapkan back-up, dengan membuka impor daging. Mendadak kepergok pula daging impor yang non-ASUH (aman, sehat, utuh, halal) yang menyusup pasaran, mengecoh karantina, dan memalsukan sertifikat halal. Pertanda jelas bahwa sudah muncul pemain-pemain yang mengail di air keruh.
Kekeruhan itu semestinya bisa dibeningkan manakala persepsi dari pemerintah dan pelaku bisnis tentang perkembangan kebutuhan daging sapi disinkronkan. Semua stakeholders agar punya pegangan angka dan penilaian yang sama, dan dengan itu bisa memasang target bersama. Langkah mencapai swasembada itu pun disinergikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, para pelaku usaha yang korporat, usaha perorangan atau kelompok. Ini menutup celah bagi penyusup yang merusak bisnis daging sapi yang maju, mandiri, ASUH. Menjauhkannya pula dari “dagang sapi” politik.
Daud Sinjal