“Jika Ditjen Peternakan ingin membuat blue print, maka konsep itu harus diinterpretasikan sebagai usaha secara terus menerus meningkatkan produktivitas dan daya saing dari sistem agribisnis sapi nasional. Dan tidak perlu memaksakan diri dengan target swasembada daging sapi pada 2014,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Mengapa tidak perlu swasembada daging sapi pada 2014?
Pada April 2008 saya sudah sampaikan bahwa pemerintah menjerat dirinya dengan janji swasembada daging sapi pada 2010 yang tidak bisa dia penuhi karena tidak mungkin dan tidak perlu. Dan kenyataannya memang tidak terpenuhi. Malahan pada Januari 2010, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan mempublikasikan blue print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Kita mengapresiasi blue print yang dibuat pemerintah tersebut.
Saya percaya penyusunan blue print tersebut sudah mengkaji rencana swasembada daging sapi 2010 karena program ini disusun oleh Ditjen yang sama. Dan saya mempunyai pendapat seperti dua tahun lalu bahwa program swasembada daging sapi 2014 belum akan terpenuhi dan tidak perlu memaksakan diri untuk hal itu. Hal itu disebabkan sapi, daging sapi, dan produk sapi lainnya bukanlah komoditas strategis bagi bangsa Indonesia karena bukan merupakan sumber protein hewani utama kita. Saya tidak menyangkal sapi bisa menjadi komoditas strategis di beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia.
Lebih baik Ditjen Peternakan belajar dari keberhasilan pengembangan kelapa sawit dan ayam broiler di Indonesia. Kelapa sawit pada era 1970-an merupakan komoditas yang tidak penting di Indonesia, tapi sekarang menjadi komoditas ekspor pertanian utama. Demikian juga ayam broiler yang pada era 1960-an belum dikenal masyarakat Indonesia tapi sekarang menjadi sumber protein hewani utama di Indonesia.
Mengapa kelapa sawit dan ayam broiler bisa berkembang demikian pesatnya?
Kelapa sawit merupakan komoditas pertanian yang sangat menguntungkan sehingga tanpa fasilitasi dari pemerintah bisa berkembang dengan sendirinya. Selain itu, juga tersedia sistem agribisnis yang lengkap. Mulai dari pasar, lahan, bibit unggul, pupuk, pestisida, hingga pusat penelitian tersedia. Dan ada usaha pendorong, yaitu BUMN dan swasta yang menjadi integrator dari seluruh sistem tersebut. Pada awalnya integrator ini yang merupakan perusahaan besar ditakuti akan mendominasi tapi nyatanya integrator tersebut juga mengikutsertakan rakyat banyak. Bahkan kini 43% kelapa sawit berada di tangan rakyat yang juga ingin meraih keuntungan. Alhasil, sistem agribisnis kelapa sawit berjalan sendiri dan menjadi nomor satu di dunia sekalipun tidak ada program swasembada kelapa sawit.
Demikian juga dengan ayam broiler, dari tidak dikenal menjadi sistem agribisnis modern yang benar-benar merupakan kreasi bangsa Indonesia sendiri. Memang keuntungan usaha ayam broiler tidak sebesar kelapa sawit tapi cukup menguntungkan. Selain itu, pada bisnis ini juga tercipta sistem agribisnis yang lengkap mulai dari hulu, on-farm, hilir, dan jasa penunjangnya. Industri bibit, pakan, vaksin dan obat, pengolahan, serta usahatani ayam broiler tidak mengalami hambatan sehingga produktivitasnya meningkat, turn over-nya cepat, dan memberikan keuntungan yang cukup menarik. Sama dengan kelapa sawit, pada agribisnis ayam broiler pada level on-farm bisa diikuti oleh peternak dengan berbagai skala usaha sebagai peternak mitra maupun peternak mandiri.
Ada persamaan antara sistem dan usaha agribisnis kelapa sawit dan ayam broiler, yaitu keduanya mempunyai integrator agribisnis dari dunia usaha. Tapi hal tersebut belum timbul pada agribisnis sapi. Jadi selama integrator itu tidak timbul, sulit bagi kita membayangkan agribisnis sapi akan berkembang seperti pengalaman kelapa sawit dan ayam broiler di dalam negeri. Kendati pun banyak program pemerintah dengan bujet yang besar tidak akan menghasilkan agribisnis sapi dalam negeri yang kokoh dan berdaya saing.
Apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya saing agribisnis sapi di Indonesia?
Kita perlu melengkapi sistem agribisnis sapi di Indonesia yang masih bolong, yaitu suplai bibit berkualitas dan pakan secara teratur. Selain itu, agribisnis sapi memerlukan integrator yang mampu mengorkestrakan seluruh subsistem yang ada. Jadi pekerjaan rumah yang utama dalam agribisnis sapi adalah melengkapi subsistem yang masih bolong dan memunculkan integrator-integrator sapi. Sekaligus juga mencari bentuk-bentuk kerjasama yang sesuai antara integrator dengan peternak berbagai skala usaha sehingga mampu menjadi sistem agribisnis yang modern. Dan pemerintah jika ingin menyusun blue print, buatlah untuk melengkapi sistem agribisnis sapi dan lahirkan kebijakan yang menguntungkan bagi seluruh pelaku dalam sistem agribisnis sapi tersebut.
Untung Jaya