Menu ikan lele masih belum naik kelas, belum beranjak dari hidangan warung, juga masih “Jawa-sentris” karena belum jadi kegemaran orang seberang. Belum mendapatkan tempat di kalangan atas, seperti ikan air tawar budidaya lainnya, mas, nila, patin, gurami, karena lele dianggap kurang higienis. Padahal seperti ikan tawar lainnya itu, lele juga sudah dibudidayakan di kolam yang bersih, dan diberi pakan pabrikan. Semua pembudidaya lele yang ditemui AGRINA menyatakan, dalam 20 tahun terakhir ini sudah tidak berlaku lagi pembudidayaan ikan lele secara jorok dan sembarangan. Pembudidaya pun sudah mengelola usahanya secara intensif dan komersial. Mereka juga telah memperhitungkan rasio konversi pakan (feed conversion ratio-FCR) dalam memberikan pakan untuk menghasilkan berat lele yang diharapkan.
Promosi lele memang harus lebih digencarkan. Sosialisasi Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) yang dilancarkan pemerintah sejak 2004, tampaknya harus dikerucutkan ke ikan lele yang masih belum terpandang ini. Dalam acara “Catfish Day” di Yogyakarta, Juni tahun lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah mencanangkan patin dan lele jadi unggulan, di pasar dalam negeri maupun ekspor. Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menargetkan peningkatan perikanan budidaya sebesar 353%, yakni dari 5,26 juta ton pada 2010 menjadi 16,89 juta ton pada 2014. Di sini, lele ditempatkan di barisan depan -- bersama patin, rumput laut, bandeng, kerapu.
Untuk memacu peningkatan itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan akan memobilisasi 1,1 juta penganggur lulusan perguruan tinggi serta anggota masyarakat umum. Mereka akan dibentuk menjadi wirausaha mandiri untuk mengembangkan budidaya perikanan dari lima jenis tadi. Kepada mereka diberikan bantuan sarana produksi, pendampingan, pelatihan teknis dan manajerial. KKP juga menjalin kesepahaman dengan Bank Indonesia untuk intermediasi perbankan. Fadel Muhammad mengharapkan, dengan dukungan perbankan, kelompok kelompok wirausaha budidaya ikan yang disebar di 442 kabupaten di 33 provinsi tersebut dapat merealisasikan upaya Indonesia menjadi negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia tahun 2015.
Namun, perspektif dari pembudidaya lele, seperti Aken Hafian dan Dian Rahmadani di Bogor, Carmin Iswahyudi di Indramayu, Yulianto di Tulungagung, mungkin belum sampai skala sejagat itu. Dambaan mereka adalah lebih dulu penerimaan lebih banyak lapisan masyarakat terhadap lele. Lele naik kelas dulu, dihidangkan di restoran megah dan digemari sampai ke pulau-pulau di luar Jawa. Khusus buat lele, pasar nusantara sebenarnya lebih menjanjikan. Dengan promosi yang tepat dan gencar, pasar lele bisa terkuak lebar, bahkan bisa ke tingkat regional.
Promosi lele bisa dilakukan dengan aneka masakan, kata Anang Hermanta, Direktur Pemasaran PT Sinta Prima Feedmill, perusahaan pakan ikan. Lele tidak hanya sedap digoreng, tapi juga bisa dijadikan abon lele, bakso lele, kerupuk dan nugget yang bisa disimpan lebih lama. Seperti gindara atau kakap, lele bisa juga dibakar sebagai steik. Kampanye, bazar, lomba memasak ikan berbahan baku lele, makan lele bersama, atau acara pemecahan rekor seperti mangut lele terpanjang (Yogya 2006) dan bakar ikan patin terpanjang (Jambi 2008) harus dijalankan lebih teratur. Pekan depan (22-23 Mei) bertempat di Parkir Timur Senayan akan diselenggarakan Festival Raya Lele Nusantara. Kepala Negara dan Ibu Negara diharapkan hadir untuk makan lele bersama dalam festival yang akan diramaikan dengan lomba masak serba lele dan gelar teknologi perikanan tersebut.
Festival itu mengusung motto yang kena pula, “Lele Menyehatkan, Mencerdaskan dan Mensejahterakan Rakyat”, karena sesungguhnyalah makan ikan, termasuk lele, menyehatkan, mencerdaskan dan menyejahterakan. Orang Jepang paling gemar makan ikan dan umurnya lebih panjang. Makan ikan juga bikin orang jadi pintar. Bisnis budidaya ikan lele ternyata juga menyejahterakan. Warung pecel lele di Jawa sudah berjumlah lebih dari 15 ribu. Apalagi kalau kampanye Gemarikan bisa meraih target konsumsi ikan rata-rata penduduk Indonesia 31,4 kg per kapita per tahun (meningkat dari 28 per kg per kapita per tahun).
Daud Sinjal