Senin, 26 April 2010

Alihkan Subsidi Pupuk Secara Lambat Laun

“Pembangunan agribisnis perberasan tidak cukup hanya dengan memberikan subsisi pupuk. Diperlukan juga pembangunan infrastruktur, subsidi suku bunga perbankan, dan peningkatan kualitas SDM,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec, Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.   

Bagaimana sejarah munculnya kebijakan subsidi pupuk?

Kebijakan subsidi pupuk dibuat saat saya jadi Menteri Pertanian periode 2000 – 2004. Kenapa subsidi pupuk itu diberikan? Alasannya, saat itu kita mengalami krisis ekonomi dan moneter, serta krisis pangan. Saat itu kita mengimpor beras sekitar 5 juta ton dan ingin impor berkurang bahkan swasembada. Satu-satunya jalan agar jangan impor beras berarti produksi dalam negeri harus meningkat. Jika produksi dalam negeri ingin ditingkatkan, maka petani harus bergairah dalam berproduksi. Petani akan bergairah jika mendapatkan keuntungan.

Di sisi lain, pada saat itu kita menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF yang salah satu poinnya adalah menghilangkan semua hambatan impor. Selain itu, di pasar dunia terjadi excess supply pangan yang mengakibatkan harga pangan dunia rendah sekali sehingga mengimpor sangat menguntungkan apalagi hambatannya dihilangkan.

Dalam keadaan seperti itu apa yang bisa kita lakukan? Kita meyakinkan IMF, bila tidak menerapkan kebijakan proteksi melalui tarif masuk, maka ketahanan pangan kita akan bermasalah dalam jangka panjang bila mengimpor terus, sedangkan dalam jangka pendek memang tidak menjadi masalah. Apalagi kita tahu, harga beras internasional yang rendah itu disebabkan banyaknya subsidi yang diberikan oleh negara produsennya, sedangkan kita dilarang mensubsidi dan bikin tarif masuk. Dan IMF pun dapat kita yakinkan.

Ternyata tarif impor saja tidak cukup karena harga dalam negeri sudah tinggi. Kita juga menerapkan harga pembelian pemerintah (HPP). HPP berdasarkan harga internasional yang rendah ditambah tarif masuk sehingga HPP relatif sama dengan harga beras dalam negeri yang tinggi. Dengan ditetapkan HPP itu pun ternyata petani juga belum cukup bergairah. Lalu kita putuskan untuk memberikan subsidi pupuk agar mengurangi biaya produksinya. Biaya produksinya dikurangi dan harga panen dinaikkan melalui HPP sehingga margin buat petani menjadi lebih besar. Itulah sejarahnya kita bikin subsidi pupuk. 

Subsidi diberikan untuk pupuk apa saja?

Mulanya hanya subsidi untuk urea, TSP, dan ZA, tapi belakangan dimasukkan juga pupuk majemuk. Dengan cara subsidi ini petani akan membayar harga pupuk lebih rendah daripada harga internasional. Jadi pabrik pupuk tidak dirugikan tetapi petani memperoleh keuntungan. Waktu itu subsidi pupuk tidak besar, hanya sekitar Rp 2 triliun, umumnya itu untuk padi, tebu, dan jagung. Dengan kebijakan ini, produksi beras naik sehingga pada 2004 Indonesia tidak perlu mengimpor beras lagi. Kecuali beras bantuan internasional yang sudah direncanakan jauh sebelumnya dan jumlahnya pun sangat kecil.

Apakah kebijakan itu masih relevan saat ini?

Kita membuat kebijakan proteksi dengan tarif masuk sekaligus promosi melalui subsidi pupuk itu untuk menjawab keadaan krisis ekonomi dan moneter saat itu. Sehingga kita berhasil meningkat produksi, bahkan pada 2004 kita sudah berani melarang impor. Jadi mulai 2004 itu keadaan sudah mulai membaik, seharusnya subsidi sudah dapat dikurangi tapi nyatanya sampai sekarang subsidi masih terus berlangsung dan nilainya pada tahun lalu sekitar Rp17 triliun. Saya kira itu suatu keengganan pemerintah untuk membongkar kebijakan yang sudah kurang relevan. Seharusnya kita bisa membuat kebijakan baru yang lebih baik.

Memang biaya yang besar masih dibutuhkan untuk membangun ketahanan pangan dan membangun agribisnis. Tahun ini subsidi pupuk telah diturunkan lalu HPP dinaikkan. Pertanyaan kita sekarang? APBN bertambah besar tapi subsidi pupuk diturunkan lalu sisa subsidi itu dibandingkan tahun lalu dialihkan ke mana? Seharusnya, sisa subsidi itu masih tetap untuk membangun agribisnis kita. Misalnya untuk membangun infrastruktur pertanian, memperkuat kelembagaan petani, perbaikan kualitas SDM petani. 

Sekarang ini tingginya biaya produksi tinggi hanya semata-mata disebabkan harga pupuk yang tinggi tetapi juga masalah lain. Di antaranya, biaya infrastruktur yang tinggi, seperti rusaknya jaringan irigasi, jalan, jembatan, dan jauhnya jarak pelabuhan. Suku bunga kredit perbankan yang tinggi untuk pertanian. Dan diperlukan juga biaya untuk memperkuat aparatur pembangunan agribisnis di kabupaten dan kota karena mereka inilah yang memegang peranan penting terkait dengn otonomi daerah.

Kita harus buat perencanaan pembangunan agribisnis paling sedikit lima tahun, bukan tahunan. Dengan demikian kita tahu harus ke mana mengalokasikan bujet pembangunan agribisnis sesuai kebijakan yang dibuat. Jika subsidi pupuk masih disediakan, maka harus lebih spesifik, misalnya subsidi untuk pupuk tunggal makro dikurangi tapi ditingkatkan untuk pupuk majemuk, pupuk mikro, dan pupuk organik. Toh bagi petani sekarang ini justru ketersediaan pupuk lebih penting daripada harga pupuk murah tapi tidak tersedia saat mereka butuhkan.

Untung Jaya

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain